4. Unlasting Peace

18K 2.8K 189
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Apartemen eksklusif di kawasan Menteng itu terpaksa menjadi tempat Rahmat bermalam. Setelah berhasil menghubungi dokter kepercayaan keluarga Tjokrohadinoto, dan membuat si princess batu tukang akting— itu tenang, Rahmat bisa juga duduk santai. Netranya memandangi sekeliling ruang santai yang cukup luas— terlalu luas bahkan untuk orang yang tinggal sendiri. Dipikir-pikir rumah Pak Haji Yusuf muat disusun di dalam sini. Sebuah tv led besar yang nampak jarang dinyalakan, tergantung rapi di dinding. Sofa yang terlalu nyaman, bahkan lebih nyaman daripada kasur di kosannya.

Pemuda hitam manis itu memberanikan diri untuk menyandarkan punggungnya di sandaran empuk, mengatupkan kelopak matanya yang terasa perih. Bernapas teratur, udara bersih bergerak konstan sepanjang indera pernapasannya. Rahmat nyaris saja terlena dan jatuh ke alam mimpi, ketika suara Maia memanggilnya. "Maaas? Mas Rahmat?"

Bergegas ia bangkit, menuju ke kamar utama yang ada di sisi kanan. Mengetuk pintunya sebelum masuk, ia pun mendapati Maia masih terjaga, bukannya tidur seperti dugaannya. "Kenapa, Mbak?" tanyanya, sambil mencengkram gagang pintu.

"Mas nggak akan kabur kan? Nanti kalo saya tidur, Mas kabur lagi?"

Rahmat menghela napas. "Enggak, saya di luar kok. Udah Mbak sekarang istirahat. Besok pagi saya baru pulang."

Maia menatap ke arahnya dengan pandangan sayu yang mengundang rasa iba. Meskipun beberapa jam yang lalu, Rahmat ingin sekali menjitak gadis itu, karena mengelabui suster rumah sakit dengan akting opera sabunnya. Rahmat harus melangkah keluar dari rumah sakit dengan cap —suami tak tahu diuntung dan egois. Image-nya sudah rusak duluan, padahal Rahmat debut saja belum.

Gadis itu sedikit terbatuk, lalu bergumam, "Mas ... saya laper. Boleh bantu saja buatin mie instan, nggak?"

Rahmat memiringkan kepalanya. "Mbak tuh asam lambung, jangan makan mie instan, dong?"

"Ya habis apa lagi emang yang bisa dimakan?" lirihnya.

Rahmat mencengkram gagang pintu lebih erat, sembari bersandar. "Mbak punya beras?"

"Hmm, ada kayaknya sih, di lemari. Bentar," Maia menurunkan kakinya dari ranjang.

Rahmat menyergahnya, "Nggak usah turun, Mbak! Kasih tahu aja ada di mana. Nanti saya cari sendiri!"

Maia tertegun karena nada bicara Rahmat yang terdengar khawatir, atau mungkin itu hanya halusinasinya? Gadis itu kembali ke posisi semula, dan menjawab, "Di lemari gantung di dapur, Mas coba cari aja."

"Yaudah, tunggu sebentar ya, Mbak!" Rahmat tersenyum manis, selagi menutup pintu kamar.

Senyuman itu, mungkin yang pertama kali, diberikan olehnya tanpa sadar untuk Maia. Gadis itu pun masih terus menatap pintu yang barusan mengayun tertutup dan meninggalkannya sendirian lagi. Maia masih mencerna apa gerangan yang baru saja terjadi.

ElevateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang