Rahmat menyadari sikapnya yang terlalu jelas menghindari Maia beberapa hari terakhir. Namun apa lagi pilihannya, daripada Maia terus menawarkan ini itu dan membuat posisinya semakin inferior. Maia memang punya harta berlebih, tapi Rahmat tidak mau memanfaatkan sedikit pun. Berutang pada orang lain adalah hal yang paling dihindarinya. Merasakan sedikit kemewahan selama bersama Maia saja, sepertinya sudah berlebihan. Apalagi harus terus menerus menikmati hasil jerih payah orang lain, rasanya tidak pantas.
Pemuda jangkung itu melipat tangga portable di tangannya, dan berhati-hati membawanya lagi ke arah ruang penyimpanan. Suasana lantai 37 cukup lengang, karena sebagian besar pegawai masih fokus semata pada layar laptop atau monitor PC masing-masing. Pagi menuju siang biasanya para leader akan mendekam di ruangan besar untuk meeting, bisa sebentar, bahkan bisa lewat jam makan siang. Terkadang mereka bahkan makan siang di ruang meeting.
Sebelum berbelok ke lorong tempat ruang penyimpanan, matanya berkelana ke ruangan meeting yang tengah digunakan. Ruangan meeting terbesar itu begitu mencolok dari luar, karena dari pembatas kacanya terlihat banyak orang melingkari meja berwarna hitam di tengah. Tembok disinari cahaya dari proyektor, yang menampilkan grafik seperti potongan-potongan kue pie, dan berwarna-warni.
Rahmat melambatkan langkahnya, karena pembicara di ruangan itu berdiri lurus ke arah peserta meeting. Perempuan itu tengah bicara, sambil menatap orang-orang di ruangan itu bergantian, sepertinya ia menakar pendapat banyak orang. Kepalanya mengangguk samar meski bibirnya tidak tersenyum ketika ia mendengarkan seorang bapak-bapak berambut tipis.
Tanpa disadari, Rahmat justru mendaratkan tangga yang dipegangnya, dan menonton meeting dari luar, tanpa bisa mendengar sepatah kata pun. Ada rasa ingin tahu apa yang tengah dibicarakan mereka semua, orang-orang berdasi dan berjas itu. Apakah kiranya ia akan mengerti, seandainya ada yang mengajarinya?
Tiba-tiba bahunya ditepuk dengan bertenaga, lehernya pun menoleh kilat ke sisi kanannya. Sebuah tangan kokoh bercokol di bahu tegangnya. Pemilik tangan itu menyeringai usil.
"Eh, Mas Nolan, ngagetin bae!" tegur Rahmat.
"Kok serius banget sih, Mas? Ngelihatin apa hayo?" tanya Nolan dengan cengiran puas.
Rahmat pun melemaskan bahunya, dan menggeleng. "Eng-enggak kok, cuma numpang lewat, Mas!" Sedikit banyak ia merasa malu karena ketahuan melamun.
"Ngetem dulu nih, ceritanya? Mau sekalian nitip salam nggak, sama yang di dalem?"
Susah payah menahan ekspresinya, Rahmat menjawab, "Si-siapa lagian dititipin salam, Mas? Ngaco aja!" Ia mengeleng-geleng, sementara Nolan menjadikan map di tangannya kipas dadakan.
"Yaelah, santai aja kali! Canda, ah! Tegang amat," ujar Nolan sambil menepuk lagi bahu pemuda yang lebih tinggi darinya itu. "Yaudah, gue masuk dulu ya, takut diamuk Medusa nanti kalo kelamaan!" Ia pun beranjak menuju pintu ruang meeting, dan mengetuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elevate
أدب نسائي#Wattys2021 Winner ㅡ Chicklit | Chicklit - Romance Comedy | This work was added to @WattpadChicklitID Reading List April 2021 Lift my life, help me out! Live my life, leave me out! Mengapa Maia menolak perjodohan yang diatur seapik mungkin oleh ayah...