Wisnu mendengarkan dari pintu, suara pengering rambut yang tengah menyala. Jemarinya bergerak mengepal, merenggang lagi, sembari mendengarkan dengan saksama. Ia masih berdiri di pintu kamar Sally sejak beberapa menit lalu. Belum juga ia mengetuknya, segala pikirannya berkecamuk jadi satu pusaran. Perkara mengetuk pintu seorang perempuan yang sudah jadi tanggung jawabnya itu, rasanya tidak perlu seberat ini, tapi tetap saja ia ragu, takut mengganggu waktu istirahat Sally.
Tok ... tok.
Wisnu menghela napas. Memerhatikan kala pintu kayu itu mengayun terbuka di hadapannya, dan menampakkan Sally dengan pakaian tidur satinnya, rambut panjangnya tergerai melewati dadanya, setengah kering. Wajahnya yang sudah bersih dari riasan itu menyiratkan tanya.
"Nu? Kenapa?"
Pria itu tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya. "Nggak papa, cuma ngecek aja, kamu .... Umm, butuh sesuatu nggak? Pengen makan atau minum apa gitu?"
Sally membesarkan matanya, sambil memilin-milin ujung rambutnya. "Hmm, nggak usah, nanti aku bikin sendiri aja."
Wisnu meremas tangannya sendiri. Bukan jawaban macam itu yang ia harapkan. "Kalo ngidam jangan ditahan-tahan. Nggak usah malu-malu kali, Sal ... ngomong aja, kan sama suami sendiri?"
Sally menggerak-gerakkan tubuhnya ke kiri kanan, tersenyum ragu. "Err, bukan gitu, Nu. Emang belum pengen apa-apa, kok. Tapi makasih ya, udah nanyain ..." Ia masih menghindari pandangan Wisnu. "Oh, iya ... kamarnya nyaman kan? Warnanya aku pilih kesukaan kamu."
Sally memang mendekorasi kamar pribadi Wisnu dengan warna kesukaannya, warna abu-abu dan putih. Miris memang, karena mereka lebih memilih untuk tidur masing-masing, demi menghargai privasi. Namun semua ini Wisnu lakukan demi menjaga permintaan Sally. Biarlah, biar sang waktu yang menyembuhkan segala luka di hatinya. Wisnu merasa tidak pantas menuntut macam-macam meski hubungan mereka sudah diikat status yang sah di mata negara. Toh, memang Sally terluka karenanya.
"Suka kok, makasih ya," balas Wisnu. "Aku tanya sekali lagi, kamu yakin nggak butuh apa-apa? Kalo misalnya berubah pikiran, panggil aja ya?"
Sally mengangguk.
Wisnu mundur selangkah, berniat pamit, tapi wajahnya terangkat lagi. Ia memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang harus diutarakan secepatnya. Sebelah tangannya kembali mengelus belakang kepalanya, tanpa tujuan jelas. "Umm, Sal, maaf ya, soalnya ... pernikahan kita, mungkin nggak sesuai harapanmu. Aku masih inget dulu kalo kalian bicarain soal pernikahan impian—"
"It's okay!" Sally menggeleng. Ia menggerakkan kedua tangannya dengan tergesa. "Oh, itu obrolan remaja labil, tahu apa sih Sally Lara Sutedja bertahun-tahun lalu soal pernikahan? Dia nggak tahu apa-apa, dan remaja emang selalu kebanyakan mimpi, kan?" Ia tersenyum sekilas.
Wisnu termangu mendengar jawaban Sally. Perempuan yang selalu berusaha tampak baik-baik saja, meski lubuk hatinya pastilah kecewa. Di saat kawan-kawan seusianya menikah dengan besar-besaran, mengundang seluruh sanak saudara dan teman-teman yang bahkan tak terlalu akrab. Semata mengumbar seberapa sukses mereka. Seberapa tampan atau cantik pasangan mereka. Seberapa mewah rangkaian acara pernikahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elevate
ChickLit#Wattys2021 Winner ㅡ Chicklit | Chicklit - Romance Comedy | This work was added to @WattpadChicklitID Reading List April 2021 Lift my life, help me out! Live my life, leave me out! Mengapa Maia menolak perjodohan yang diatur seapik mungkin oleh ayah...