3. A Magic Trick

20.7K 3.2K 433
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara adzan maghrib berkumandang, hingga ke telinga Maia yang kini duduk di mobilnya dengan mata setengah terpejam menahan kantuk. Entah sudah berapa lama ia menunggu si Rahmat Marwoto— yang katanya pergi jamaah sholat dzuhur tapi sampai adzan berikut-berikutnya ia masih betah di sana. Jangan bilang sampai Isya pun dia tidak muncul.

Tidak mungkin dia memutar jalan, kan? Rumahnya saja di gang, tidak ada jalur lain, kecuali dia pemain parkour yang jago lompat-lompat ke genteng orang.

Tidak, pasti dia hanya sengaja berlama-lama di masjid, agar Maia lelah menanti, dan akhirnya pulang. Pasti dia sengaja menghindar.

Dikira Maia Larizka selemah itu? Oh jangan salah sangka, menunggu memang menyebalkan, tapi ditolak lebih menyebalkan lagi. Mundur bukan jalur yang cocok untuk situasinya kini. Dia harus membuat Rahmat berubah pikiran. Ia memikirkan sebuah gebrakan, dan menurutnya paling tepat adalah menjadikan Rahmat, sebagai salah satu alatnya. Jadi gadis itu tidak akan menyerah sampai Rahmat Marwoto turut campur dengan urusannya.

Sikap Rahmat yang sok suci itu justru membuat Maia semakin penasaran dan ingin mengubahnya. Harus berhasil karena ini semestinya pekerjaan ringan.

Maia kembali teringat obrolannya tadi siang dengan si Upil, di warung internet langganannya. Indomie telor kornet, bukan internet cafe. Maia tentunya hanya mengeluarkan uang, tidak ikut makan. Selain alasan kadar higienis yang meragukan, juga karena ia sedang diet.

Cerita Upil, Bang Mamat itu memang sering ke masjid, dan cukup terkenal di kalangan anak-anak kampung karena suka mengajari mereka mengaji. Meskipun dia hanya melakukannya kalau ada waktu saja, terkadang ikut beres-beres juga, hitung-hitung membantu marbot masjid yang sudah cukup uzur, Pak Jaja.

Bang Mamat kebetulan juga cokiber, alias cowok kita bersama yang diperebutkan oleh teman-teman Upil yang berjenis kelamin perempuan. Menurut penerawangan Upil, perempuan dewasa di kampungnya tidak ada yang berani terang-terangan menggebet Bang Mamat, karena pemuda itu sholeh dan lebih sering menghindari interaksi dengan kaum hawa. Jadilah fans club Bang Mamat isinya anak-anak SD.

Maia menyimpan baik-baik info spektakuler itu. Perjalanan hidup sholehnya Mamat akan segera berakhir, karena Maia jelas tidak akan mundur hanya perkara testimoni seberapa sholeh Rahmat Marwoto. Tetap saja dia itu manusia, dan yang utama, dia itu laki-laki. Maia tahu persis kelemahan laki-laki. Sudah pasti Rahmat tidak ada bedanya dengan lelaki mana pun.

Kelopak matanya yang sudah seberat beban hidup, berkali-kali nyaris menutup. Seolah membuka mata saja harus melawan bisikan sejuta setan. Kepalanya sedikit berputar, mungkin ia butuh obat pereda nyeri lagi nanti sebelum tidur.

Hingga suara nyaring dari perut Maia menyadarkannya, bahwa ia belum mengonsumsi apa-apa selain sereal gandum pagi tadi. Ah, sudahlah, toh bagus untuk berat badannya kan? Tidak ada ruginya menahan lapar sedikit lebih lama. Asalkan body goals terpenuhi.

ElevateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang