30. Last Questions

34.3K 2.4K 375
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Emang kalo Rahmat kenapa, Mbak? Jelek ya?"

Maia tampak membeku mendengar pertanyaan itu. Masih belum menoleh ke arah Rahmat, gadis itu menyugar rambutnya, napas terembus keras. "Nama kamu bagus kok, kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"

Rahmat angkat bahu. "Loh, cuma nanya, emang nggak boleh?"

"Iya kenapa gitu? Kamu mau namamu dijadiin nama ikan? Apa gimana?" cecar Maia.

"Bukan itu, lagian lucu sih, ikan juga kenapa mesti dikasih nama Matthew lagi. Matthew lagi. Kasih nama Paijo kek, Jarwo kek, Tukiyem kek? Matthew terus kayaknya isi kepalanya Mbak?"

Maia menggeser posisinya agar bisa menatap Rahmat lebih jelas. "Loh, bentar deh! Kamu katanya kasih hadiah ini kan buat aku? Ya terserah aku dong, mau kasih nama apa? Kok kamu malah sewot gini? Yaudah mau diganti namanya jadi Rahmat Marwoto? Yaudah gih! Mau tambah nama bapakmu sekalian gak? Bin ... apalah itu?"

"Bukan itu intinya, Mbak Maia..." desah Rahmat dengan nada lelah. "Yang saya nggak paham tuh, kenapa Mbak selalu terpikirkan Matthew terus? Dia itu nggak ada, Mbak! Dia itu cuma khayalan! Benda mati aja bukan!" tegas Rahmat.

"Kok kamu ngomong gitu? Ya kamu itu Matthew!"

"Saya Rahmat, Mbak! Mau sampai kapan Mbak anggep saya orang lain? Saya punya identitas, saya bukan Matthew yang Mbak puja-puja itu. Dan saya mau tegasin lagi ke Mbak, hari ini, Matthew udah nggak ada lagi, oke?"

Maia menatapnya nanar, seolah ditampar kenyataan dengan kasar. Rahmat yang biasanya sabar dan nurut itu sedang terselubung aura lain. Dan omongan Rahmat adalah kenyataan yang harus Maia hadapi.

Maia justru bangkit dari duduknya, melangkah panjang melewati Rahmat yang masih bersila di lantai. Gadis itu mengarah ke kamarnya. "Udahlah, aku capek, aku lagi males berdebat! Makasih, buat hadiahnya."

Jari tangan kiri Maia ditahan oleh Rahmat. Meski tanpa paksaan, genggaman halus itu menjeda langkah Maia. "Tunggu, Mbak. Besok mungkin kita nggak akan ketemu lagi, jadi ada baiknya saya sampein sekarang aja," gumam Rahmat.

Maia terdiam di posisinya, tampak tidak yakin ingin mendengar apa pun. Namun Rahmat menyarankannya untuk duduk dulu. Gadis itu mengambil tempat duduk di sofa, berhadapan dengan Rahmat yang duduk di karpet. Masih belum nyaman menatap satu sama lain, keduanya menunduk.

"Maaf, kalo saya ngomongnya agak kasar tadi," Rahmat memulai. "Saya jujur aja kaget kok bisa kepikiran nama Matthew buat si ikan. Saya coba pikir lagi, mungkin ... mungkin Mbak emang seneng banget sama nama itu. Balik lagi, harusnya itu hak Mbak Maia. Saya harusnya nggak ikut campur."

Maia mulai mengikis-ngikis kuteks di tangan kirinya dengan jari-jarinya sendiri. Tampak tak peduli bahwa warna indah cat kukunya jadi carut marut. Pandangannya masih jatuh ke pangkuannya.

"Tapi saya juga kasihan sama Mbak Maia, kalau terlalu banyak berkhayal, seolah nama Matthew itu hidup, dan bakal ada di sisi Mbak kapan aja ... Bukannya saya mau itungan jadi orang, tapi kan perjanjian antara kita emang cuma sampai Mas Wisnu dan Mbak Sally menikah. Tugas saya selesai, kan, harusnya?" tanya Rahmat halus.

ElevateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang