Rahmat menunduk, ikut mendoakan pasangan Wisnu dan Sally yang baru saja disahkan sebagai suami istri oleh penghulu, di halaman belakang kediaman orangtua Sally. Pergerakan awan di angkasa begitu lamban, seolah enggan menutupi sang raja siang yang mengawasi prosesi penyatuan ikatan jiwa kedua insan itu. Sederhana, itu kesan yang Maia utarakan ketika mereka tiba beberapa jam lalu. Undangan nyaris tak ada, kerabat tertentu yang tandang, itu pun bisa dihitung dengan jari. Sayang Rahmat tak sependapat dengan Maia kali ini. Meski bukan dilaksanakan di gedung yang besar seperti kaum jetset pada umumnya, pernikahan di rumah yang besar adalah kemewahan itu sendiri. Meski outdoor, semua dekorasinya begitu cantik, dengan tenda satin yang melindungi pengantin dan para saksi. Tanaman-tanaman rambat menghiasi setiap pojoknya. Kesan yang Rahmat dapat adalah intim, mewah dalam rangkaian minimalis yang manis.
Kalau di kampungnya Rahmat, pernikahan di halaman begini sudah sering terjadi. Bedanya kalau di sana, ketika menoleh mungkin pandangan bisa bertemu hamparan padi, sementara di sini terkungkung dinding-dinding kokoh yang menjulang. Menu makanan prasmanan yang disajikan dengan adab gotong royong, hasil masakan ibu-ibu se kelurahan, misalnya. Di sini, semua sudah diatur masing-masing porsinya dengan meja yang juga sudah diberi nama untuk calon penghuninya. Dan satu lagi bedanya, tidak ada orkes untuk dangdutan di sini.
Tentu suasananya pun tidak mungkin cocok untuk dangdutan, sama sekali tidak. Meski Wisnu dan Sally sedang dimabuk asmara sekali pun (sayangnya tidak), mereka tak akan repot mengundang penyanyi dangdut. Mungkin Bang Tulus yang akan mereka undang, demi menyanyikan sebait, "Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku ... Berdua kita hadapi dunia." Bukankah itu akan manis sekali untuk hari bersejarah mereka?
Namun musik tidak berkumandang sama sekali. Keluarga Sally barangkali tidak mau ada penarik perhatian yang lebih banyak dari ini. Begitu tenang, bisa dinilai dari sosok-sosok yang hadir tampak tidak ingin berlama-lama bercengkrama.
Rahmat membiarkan dirinya diseret Maia mendekati sang pengantin wanita yang berbalut kebaya modern putih gading. Rahmat merasakan lengan Maia melepasnya begitu di dekat Sally. Ia pun menjabat tangan Wisnu dan mengucapkan selamat dengan setulus mungkin. "Wisnu, selamat ya, semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah!"
"Thanks, Matt!"
Wisnu tampak gagah dan tenang dengan beskap putih gadingnya, meski di saat yang sama, ada kesan letih di sorot matanya. Tanpa tedeng aling-aling, Wisnu justru menarik tubuh Rahmat, dan merangkul bahunya. Tangan kirinya menepuk punggung pemuda itu seraya berbisik, "Matt, titip Maia ya?"
Terperanjat, Rahmat melongo. Kata-kata itu jelas tidak diperkirakan olehnya akan lolos dari bibir Wisnu. Rahmat buru-buru berdeham untuk menyamarkan canggung, dibalasnya pesan keramat itu dengan senyuman. Senyuman yang Rahmat sendiri tidak bisa menakar, seberapa tulusnya.
Rahmat mundur, ketika mendengarkan dua perempuan yang tengah berpelukan erat bagai hendak berpisah ribuan tahun lamanya.
"Saaal, be happy, okay?" gumam Maia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elevate
ChickLit#Wattys2021 Winner ㅡ Chicklit | Chicklit - Romance Comedy | This work was added to @WattpadChicklitID Reading List April 2021 Lift my life, help me out! Live my life, leave me out! Mengapa Maia menolak perjodohan yang diatur seapik mungkin oleh ayah...