EPILOG

621 36 7
                                    

Aku menyingkap gorden biru yang menuju dapur pada dini hari ini, aku butuh air minum lebih banyak untuk membasahi tenggorokanku yang semalaman mengering karena menangisi nasibku yang rumit, merindukan Pak Johvan tapi keadaannya begitu membahayakan oleh komplotannya Bu Rindu.

Aku duduk di kursi dekat pantry sambil meneguk segelas air putih, mataku terlihat bengkak dan sembab dari pantulan kaca lemari, begitu kacau. Semalaman ini aku sama sekali tidak tidur, sejak berbalas chat dengan Pak Johvan dan aku logout akun Instagram karena tidak ingin membuatnya datang ke Jakarta, hal yang akan membahayakannya.

Dan hal bodoh yang aku tangisi semalaman ini adalah, aku telah mengatakan kepadanya: Jangan kejar saya lagi, saya tidak mencintai Bapak. Menikahlah dengan Bu Rindu …

"Hiks!"

Aku terisak tiap ingat kalimat bodoh yang kutulis untuknya itu, seolah-olah aku siap move on dari sosok Pak Johvan.

Apa aku move on saja ya? tanya hatiku berulang-ulang.

Jam kukuk di ruang tengah berbunyi nyaring, dentangannya menandakan sudah pukul 03:30 dini hari, tapi aku malah menangis di dapur hingga tak kusangka, Mbok Gimah datang dari arah kamarnya.

"Lho, Non Clara kok nangis? Ada apa, Non?" tanyanya panik.

Aku pun segera menatap wanita berdaster batik cokelat itu dan menempelkan terlunjukku di bibir. Aku merasa kacau, berantakan, air mataku terus terurai, hingga …

Greppp …

Dengan lembut Mbok Gimah mendekapku. "Shhh, cerita ke Simbok, Non, ada apa?"

Aku yang jadi terisak lalu mengeratkan pelukanku dan membenamkan wajahku di pundak Mbok Gimah.

"Apa ini soal Galang, Non?"

Aku menggeleng.

"Apa soal kekasih Non Clara di Surabaya sana?"

Aku mengangguk.

Mbok Gimah mengelus-elus punggunggku, menenangkanku yang tenggelam dalam kesedihan karena kangen Pak Johvan.

Sejurus kemudian Mbok Gimah menuntunku ke kamarnya untuk menceritakan semuanya yang terjadi.

"Jadi, semalam kalian saling berkirim pesan?" tanya Simbok begitu aku selesai bercerita. Kuceritakan semuanya hingga soal ponsel pemberian tantenya Bu Rindu.

Kini kami duduk berhadapan di tepian ranjang tempat tidurnya. Aku masih menangis.

Mbok Gimah ikut berkaca-kaca lalu menangkap tanganku dan mengusapnya lembut, seolah mengalirkan kesabaran.

"Non, dengarkan. yang Simbok tangkap, Non Clara menangis karena sudah jauh-jauh mendalami perasaan Non untuk Pak Johvan. Benarkah? Dari sorot mata Non Clara, Non terlalu menyayanginya."

Hiks!

Aku kembali terisak sambil menundukkan kepala. "Iya, Mbok. Simbok benar, Clara sangat menyayanginya. Namun, semalaman Clara mencoba melupakannya saja karena keadaannya yang rumit, walau nyatanya Clara nggak bisa melakukannya. Clara merasa bersalah ke Pak Johvan, Mbok …"

"Dengarkan Simbok, Non." Mbok Gimah membelai pipiku dan mengusap air mataku. "Ini bukan salahnya Non Clara. Harusnya sebelum Non Clara pergi ke Surabaya waktu itu, Simbok bilang lebih dulu ke Non kalau mencintai seseorang itu tidaklah mudah," lirihnya dengan nada menyesal. "Hilangkanlah rasa bersalah itu, Non. Kalau memang Non mau melupakannya, simbok akan mendukung apapun keputusan Non. Simbok janji akan menyertai setiap keputusan Non Clara."

Terisaklah aku mendengar pengertian Mbok Gimah, aku lantas menutup wajahku dengan kedua tangan karena air mataku makin tidak terbendung.

"Kenapa Non Clara ragu-ragu untuk melupakannya?" tanyanya lembut diantara isakanku.

CLARALIVIA ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang