Selamat bermalam sabtu, Gengs. Weekend ini punya acara kemana, nih? Hujan mulu sih ya, astaga, ck ck ck ...
Doakan cuaca mendukung dan aku bisa tetep update ya, soalnya (alhamdulillah aku mah selalu sehat), cuma antara sabtu & minggu tuh harus ke Kota Solo, mau nengok keluarga yang lagi sakit. Doakan semuanya lancar, apalagi ini dua novel terbaruku mendekati tanggal produksi, belum lagi layoutnya Frans belum selesai #gubrakDoakan selalu lancar ya, apalagi rencana-rencanaku tuh selalu pengen update tiap saat tiap waktu, tapi suka kepentok kesibukan yang tiba-tiba nongol, hadeh ...
Claralivia sampai mana yak? Oh iya! Dia diculik!
Ayok ayok dilanjut, semoga dia nggak pa-pa ya!
Happy Reading, Gengs!
🌿☘️🏵️🏵️🏵️☘️🌿
Rasanya aku seperti bangun tidur untuk kedua kalinya di hari ini, I feel like, this is just dreams, but …
Aku baru merasakan kenyataan sesungguhnya karena kali ini aku tersadar di atas sebuah kursi dengan tangan dan kaki terikat. Ya Tuhan!
Hosh! Hosh!
Bagai ikan yang baru diangkat ke daratan, sumpah, rasanya aku seperti mau mati saat mengedarkan pandangan. Napasku menyesak karena syok, tanganku gemetaran, keringat dinginku mengucur karena ketakutan.
Aku berada di ruangan sebuah rumah dengan keadaan mencekam dan hening. Dindingnya berwarna merah dengan lukisan-lukisan abstrak, kursi-kursi kayu berderet di sekelilingku seolah aku adalah seorang tersangka pada sebuah sidang dengan kasus besar. Aroma-aroma aneh menguar, seperti aroma beraneka bunga, tapi begitu tajam hingga memusingkan kepala. Saking tajamnya sampai terasa di lidahku yang sangat kehausan.
Dimana suara ombak yang sejak kedatanganku bersama Pak Johvan selalu terdengar familier? Sejauh apa tempat ini berada dari resort tempatku menginap semalam? tanyaku dalam hati secara rinci, aku terus berprasangka hingga menuju sebuah pertanyaan paling penting. Siapa yang menyekapku di sini? Apa Pak Johvan tahu?
"Halo, penggoda kecil, sudah siuman kau rupanya …" Suara riang seorang wanita tiba-tiba mengalun dari arah belakangku, lengkap dengan tawa bernada meremehkan yang terdengar mirip tawa nenek-nenek.
Sontak aku menoleh, dan kudapati seorang wanita berusia lima puluh tahunan dengan dandanan necis, kulitnya pucat, rambutnya klimis dan disanggul, pakaiannya serba merah dan di tangan dan lehernya penuh perhiasan emas, selain itu wajahnya tampak galak mirip tokoh-tokoh antagonis di sinetron Indonesia. Dia berjalan melaluiku dan duduk tepat pada kursi di hadapanku.
"Anda siapa?" tanyaku dengan dahi mengernyit, gelenyar ketakutan mengalir di darahku dan rasanya telah merebak ke seluruh tubuhku, terlebih saat setelahnya masuk juga dua orang pria gondrong berbadan kekar yang segera berdiri di belakang wanita itu. Mendesirlah darahku karena ketakutan.
"Itu tidak penting, kamu yang lebih penting," bentak wanita dengan rambut penuh uban itu, uban yang sebagian dicat hitam. Kulihat ia lantas merekahkan kipas besar di tangannya lalu mengipasi wajahnya. "Sejak kapan kamu dekat dengan Johvan?"
"Apa itu penting?" tanyaku dengan suara gemetar. Jantungku berdegup kencang, pikiranku terasa ruwet.
"Sangat penting, karena kamu telah lancang mendekatinya tanpa memikirkan keponakan saya, Rindu."
Owww! Tantenya Bu Rindu rupanya, batinku dengan gigi gemeretakan karena gemas, bagaimana tidak? Dalam posisi diikat seperti ini -hal yang belum pernah kurasakan seumur hidupku, aku dihadapkan dengan wanita berwajah sangar dengan tatapan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARALIVIA ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)
Roman d'amour|Wanita Karir VS Cold Boss| Bukan Claralivia kalau hidup di suatu tempat tanpa digandrungi banyak pria, parasnya yang mempesona bahkan membuatnya dikejar empat cowok sekaligus di SMA-nya dulu, dan itu termasuk guru olahraganya, Johvan Raitama. Men...