🏵️Claralivia 05

398 59 43
                                    

  Hujan kemarin mencipta suasana segar di taman depan kantor Glow Touching ketika kujejakkan kakiku melewati pos satpam pagi ini, setelah mengisi daftar hadir dengan memberikan sidik jariku pada mesin absen yang diserahkan sang satpam, aku lantas melenggang menuju undakan anak tangga marmer yang menuju lobi.

  Beberapa pekerja yang baru berangkat juga tampak bergegas di sekelilingku, aroma-aroma parfum dan kosmetik yang mereka pakai campur aduk menguar di udara.

  "Cla, titip ini buat Mas Rony, ya?" ucap Lala di meja resepsionisnya, menyodorkan kepadaku dua buah map biru. "Dokumen ini perlu ditandatangani sama Mas Rony."

  "Baik, Mbak," jawabku sambil tersenyum lalu mengambil map map itu. Aku lantas berlalu.

  "Kamu hari ini kok beda, Cla?"

  Aku menoleh dan Lala tersenyum. "Beda?"

  "Beda dalam artian bagus, kamu lebih cantik 10 kali lipat dengan riasan tipis-tipis begitu."

  Aku terkekeh. "Mbak, maaf lho ya aku nggak punya imbalan buat orang yang memujiku."

  Lala tersenyum kagum. "Seneng liat kamu tampil seger gitu, Cla, selamat bekerja ya," dia lalu melambaikan tangan setelah ada pekerja lain yang menghampiri mejanya.

  "Thank you!" balasku sebelum akhirnya berlalu dengan senyuman.

  Ini udah hampir jam tujuh, pasti ketiga temen kerjaku udah pada sampai, batinku begitu memasuki lift. Tiba-tiba…

  Saat pintu lift sudah mau menutup, seseorang ikut masuk, dan orang tersebut adalah Pak Johvan.

  Tick!

  Pintu lift tertutup dan kini aku berdiri terpaku di samping lelaki dengan sikap sedingin pucuk Everest itu. Terpaku dalam keheningan, yang terdengar hanya detak jantungku sendiri.

  Pak Johvan berdiri tegak dengan stelan jas hitam yang melekat di tubuh tegapnya, aroma parfumnya masih sama, masih seperti yang dikenakannya di SMA dulu, wajahnya yang berhidung mancung hampir-hampir tanpa ekspresi, sebuah koper jinjing hitam ditentengnya di tangan kanan. Senada dengan warna sepatunya yang juga hitam mengkilap.

  Pak saya kangen, hueee...

  Ingin sekali aku mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan mengutarakan hal itu, tapi dia ini benar-benar acuh, seperti patung Liberty yang menjulang tinggi, bahkan kalau diukur pun, tinggi badanku hanya sebatas pundaknya saja.

  "Pak, ada yang jatuh, duit bapak, seratus ribu," godaku. Padahal nggak ada apa-apa. Aku cuma gemas sama sikap dia yang kayak gunung es. Dosaku apa? It's mean, iya aku memang pernah menolak cintanya di masalalu, tapi kan saat itu aku masih remaja, sementara saat itu dia adalah guru olagragaku, satu hal lagi, dulu dia nggak setampan dan segagah ini. Stop, Cla, jangan bikin pembelaan gajelas seperti itu, kamu memang bikin kesalahan di masalalu sama dia, batinku sambil meringis.

  "Jangan sok akrab," ucap Pak Johvan datar sambil melirik ke arah bawah.

  "Cielah, bapak nyariin duit ya?" Aku makin gemas melihat ekspresi datarnya, pengen nabok.

  Dia diam dan malah memeriksa jam tangannya.

  Lift terbuka di lantai dua dan aku dibuat heran, dia ikut melenggang keluar bersamaku. Tapi kami lantas berlalu ke arah yang berbeda, dia ke kiri, aku ke kanan.

  "Pak duitnya jatuh lagi!" godaku lagi. Aduh, karena aku nggak bakat ngelawak, ini aku malah merasa garing dan seolah lagi bicara sama robot. Coba dia bukan bosku dan cuma karyawan biasa, kulempar dia dia pakai flatshoes yang kukenakan.

CLARALIVIA ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang