01

181 16 31
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Apa aku harus percaya jika semua akan indah pada waktunya?"

❦︎❦︎❦︎

Hujan deras siang hari seakan menyamarkan isak tangis gadis berusia 16 tahun. Qiran Adhisti, kerap disapa dengan Qiran, dia memiliki ciri khas wajah baby face, tubuh cukup tinggi, kulit putih bersih serta rambut panjang sepunggungnya. Saat ini dia baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga yang sangat disayangi. Terduduk di samping gundukan tanah membuat Qiran tak kuasa menahan tangis. Air matanya meluruh tanpa permisi, tetapi air mata itu kini tersamarkan oleh air hujan yang turun dari langit.

Hujan seperti merasakan apa yang dia rasakan. Begitu sesak yang dirasakan Qiran hingga membuat napasnya sedikit memburu. Sekarang, siapa lagi yang akan membelanya saat sang ibu mencaci, mendera dan menampar? Tuhan sudah tidak lagi sayang pada Qiran hingga semua yang dia sayang diambil kembali.

Tidak ada satu pun orang yang menemani Qiran. Siapa lagi yang peduli dengannya? Mungkin sudah tidak ada lagi. Qiran ingin merasakan bahagia. Dia ingin menampilkan senyum tulus. Namun, untuk saat ini dia hanya bisa menampilkan sebuah senyum palsu. Senyum yang menjadi topeng kehidupannya.

Rasanya, sangat percuma dia hidup di dunia jika hanya mendapatkan rasa sakit. Apakah Qiran harus percaya dengan ungkapan bahwa semua akan indah pada masanya? Jujur saja, dia sangat benci dengan ungkapan itu.

Qiran beranjak dari duduknya lalu memilih pulang karena langit telah semakin menggelap. Lagi pula, sangat mustahil jika menginginkan sang nenek kembali di hadapannya. Maka dari itu, dia memilih untuk merelakan. Meskipun berat, tetapi mau tidak mau dia harus mengikhlaskan.

"Masih ingat jalan pulang?" sinis Nadia memandang anaknya yang tampak seperti gelandangan.

Baju putih Qiran basah kuyup ditambah lagi dengan tanah yang menempel hingga membuat bajunya berwarna kecokelatan. Dia hanya menghela napas mendengar ucapan dari mamanya. Tenaganya sudah terkuras habis untuk menangis.

"Maaf, Mah. Qiran tadi habis dari makam Oma." Qiran menundukkan kepalanya.

"Kamu tidak lihat rumah masih berantakan seperti ini, cucian belum dicuci. Harusnya kamu lebih mengutamakan pekerjaan rumah. Mau saya usir, hah?!"

Qiran terlonjak mendengar penuturan sang ibu. Tidak ada sosok keibuan yang Nadia tunjukkan untuk Qiran. Dia memperlakukan Qiran selayaknya pembantu berumur lima tahun. Untuk apa Qiran dilahirkan dari rahim Nadia jika hanya dianggap sebagai pembantu? Namun, Qiran sama sekali tidak bisa membenci Nadia.

"Kalo orang ngomong itu dilihat wajahnya!"

Qiran mendongakkan wajahnya, detik berikutnya tangan Nadia sudah menghantam pipi Qiran hingga memerah. Qiran diam, dia tidak bisa melawan. Mungkin saja ibunya akan puas saat menamparnya. Namun, mata tidak bisa berbohong. Buktinya saat ini dia meneteskan air mata. Sorotan matanya juga penuh kepedihan. Hal itu tidak menjadi titik lemah untuk Nadia menghentikan perilaku kasarnya, dia justru tersenyum sinis melihat Qiran menangis.

"Qiran ke kamar dulu, Ma. Nanti aku beresin semuanya. Mama tenang aja," ucapnya lalu berlari menuju kamar.

Qiran berlari menuju kamar lalu membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Setelah itu, dia keluar dan merebahkan diri di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Ingin sekali Qiran menjadi gadis remaja pada umumnya yang bersenang-senang tanpa kekangan dari orang tua. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi.

Qiran kembali beranjak mengingat pekerjaan rumahnya belum dia selesaikan. Dia memilih menurut perintah ibunya dibandingkan dirinya harus mendapat omelan. Setelah membersihkan rumah dan memcuci, Qiran memilih untuk kembali ke kamar lalu mengistirahatkan badannya.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang