16

29 5 0
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Lebih baik aku menerima tamparan dan deraan kembali dari pada aku harus pergi jauh meninggalkan ibu yang sangat aku sayangi."

❦︎❦︎❦︎

Upacara rutin di hari senin membuat semua siswa SMA Nusa Jaya mengeluh. Teriknya cahaya matahari membuat bulir keringat menetes di pelipis banyak orang. Padahal baru lima belas menit upacara berlangsung, tetapi korban pingsan sudah lebih dari tiga.

Anggota PMR masih mengawasi semua pergerakan siswa dari belakang. Sesekali berlari dan menanyakan kepada orang yang sekiranya lemas dan pucat. Tandu sudah disediakan untuk mengangkat orang yang pingsan.

Amanat upacara sedang berlangsung. Kepala sekolah berpidato tidak jauh dari masalah kebersihan sekolah dan siswa yang tidak taat akan peraturan. Kali ini, kepala sekolah juga mengucapkan selamat atas keberhasilan para perwakilan olimpiade yang dapat meraih juara.

"Panas, hiks ...." Karin menampilkan wajah pura-pura menangis hingga membuat Nara memukul tangannya.

"Alay lo," ejeknya sembari tersenyum miring.

"Qiran gak panas masa, malah agak pusing," ucap Qiran sembari memegang kepalanya dengan tangan kiri membuat kedua sahabatnya menoleh ke arahnya.

Nara memanggil petugas PMR untuk membawa Qiran ke tempat yang teduh. Dia tidak tega membiarkan sahabatnya yang baru saja keluar dari rumah sakit harus berpanas-panasan. Memang cahaya matahari pada pagi hari itu sehat, tetapi tetap saja dia tidak tega.

Upacara sudah hampir selesai. Doa juga sudah dibacakan oleh petugas upacara. Nantinya, upacara akan diselesaikan dengan penyerahan piala dan piagam untuk para juara olimpiade. Hal itu membuat semua siswa kembali mengeluh karena waktu istirahat mereka tertunda.

"Pengumuman-pengumuman!" ucap protokol upacara agar para pemimpin mengistirahatkan di tempat semua anggota mereka.

Bu Aina selaku pembimbing fisika memasuki lapangan upacara. Dia membawa microphone untuk mengumumkan para juara olimpiade. Dengan suara yang tegas, Bu Aina membungkam para siswa yang masih berbincang sendiri-sendiri.

"Selamat pagi anak-anak! Jumat lalu sekolah kita sudah mengajukan beberapa anak sebagai perwakilan lomba olimpiade. Alhamdulillah, ada tiga siswa yang mampu menjuarai lomba."

Bu Aina menarik napas dalam lalu mengembuskannya. "Untuk siswa yang saya sebutkan. Dimohon ke tengah lapangan untuk penyerahan piagam dan piala."

"Yang pertama, selamat untuk Yudha Pratama yang mendapat juara tiga olimpiade Biologi!"

Tepuk tangan menggema di sekitar lapangan. Yudha berjalan dengan gagah menuju tengah lapangan dan berdiri tepat di samping Bu Aina.

"Yang kedua, Selamat untuk Risa Almira yang mendapat juara dua olimpiade Kimia!"

Mira berjalan dengan senyum mengembang. Dia berdiri di samping Yudha dengan anggunnya. Mereka kini menjadi sorotan siswa SMA Nusa Jaya. Mungkin mereka mengira yang mendapat juara itu hanya mereka berdua. Namun, ternyata masih ada Qiran yang belum dipanggil. Qiran pun masih berada di bawah pohon bersama salah satua anggota PMR.

"Yang terakhir, siswi yang berhasil meraih juara pertama olimpiade fisika adalah Qiran Adhisti!"

Tepuk tangan kini lebih menggema dibandingkan dari tepuk tangan yang diperoleh Yudha dan Mira. Qiran bangkit dari duduknya lalu pergi ke tengah lapangan dipapah oleh salah sati petugas PMR. Mungkin mereka tidak menyangka bahwa Qiran akan mendapat juara pertama dalam bidang fisika. Fisika adalah pelajaran yang membuat otak panas. Namun, dengan perjuangan dan usaha Qiran, dia berhasil meraih juara pertama.

Kepala sekolah mengucapkan banyak terima kasih pada ketiga siswa yang memperoleh juara. Karena mereka, nama SMA Nusa Jaya menjadi harum. Pencapaian mereka patut diacungi jempol. Tepuk tangan kembali terdengar saat kepala sekolah selesai memberikan piala mereka.

Qiran berfoto bersama Bu Aina serta kepala sekolah. Setelah sesi foto selesai, upacara dibubarkan dan dilanjutkan dengan pelajaran. Semua orang berhambur menuju kelasnya masing-masing untuk menimba ilmu.

❦︎❦︎❦︎

Pada jam pelajaran kelima, Nadia mendatangi sekolah Qiran untuk menjemputnya. Ucapannya bahwa dia akan membawanya ke suatu tempat terjadi sekarang. Terlihat Nadia membawa barang di dalam tas yang cukup banyak. Qiran tidak tahu apa isi dari tas itu.

Qiran dan Nadia pergi menggunakan taxi. Di sini yang mengetahui arah tujuan adalah Nadia, Qiran hanya diam dan menurut saja. Lagi pula, dia memang tidak mengetahui arah jalan. Qiran tidak pernah berwisata atau pergi jauh. Dia lebih memilih bekerja jika tidak dia akan mengisi waktu kuangnya untuk istirahat.

"Ma, kita mau kemana?"

"Nanti juga kamu tau," jawabnya cuek, tidak seperti ucapannya semalam yang begitu manis.

Taxi itu berhenti di sebuah bandara, Qiran menyernyit heran. Apa dia akan pergi dari kota kelahirannya? Sungguh, ini di luar pikiran Qiran. Nadia mengeluarkan beberapa tas dari kursi belakang lalu meminta Qiran untuk memasuki bandara sembari membawa salah satu tas.

"Ini tiket buat kamu ke kampung nenek kamu. Kalau kamu mau sekolah, saya sudah urus surat pindah kamu. Semua sudah ada di tas, tabungan kamu juga ada di sini. Pergi sejauh mungkin, jangan pernah kembali ke hadapan saya lagi!" tegasnya memberikan tiket ke Surabaya.

Plak!

"Itu hadiah terakhir dari saya." Nadia melenggang pergi tanpa mengucapkan pamit.

Air mata Qiran tak lagi bisa dibendung. Dia tidak habis pikir Nadia tega berbuat seperti ini kepadanya. Apa ini? Bersikap baik lalu membuangnya? Sungguh ibunya tidak mau lagi mengurusinya.

"Pesawat xxxx tujuan Surabaya sebentar lagi akan lepas landas!"

Qiran segera pergi meninggalkan bandara saat panggilan itu diserukan.

❦︎❦︎❦︎

Siang hari telah tiba. Semua pelajar sudah dibubarkan, tetapi masih ada yang menetap di sekolah, menunggu jemputan, bahkan mengantri mengambil kendaraan. Kini Kenzie berniat untuk menjemput adik kesayangannya di sekolah yang berbeda dengan sekolahnya.

Jarak SMA Perwira dengan SMA Nusa Jaya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai di sana. Kenzie melihat Karin yang tengah menunggu abangnya. Kebetulan dia juga tidak membawa motor sendiri. Kenzie melajukan motornya menuju hadapan Karin.

"Rin, Qiran mana?" tanya Kenzie to the point.

"Tadi sekitar jam sepuluh ,Tante Nadia ke sekolah aku, Kak. Dia ngejemput Qiran, katanya mau dibawa ke suatu tempat yang belum Qiran ketahui," jelas Karin pada Kenzie.

"Oke, makasih infonya," ucap Kenzie lalu melesat pergi meninggalkan SMA Nusa Jaya.

Kenzie berhenti di suatu taman. Dia mencoba untuk menghubungi Qiran. Namun, tidak bisa. Nomor Qiran tidak aktif. Kenzie bingung harus mencari adiknya ke mana. Dia memilih untuk ke rumah Nadia saja.

Rumah Qiran tampak sepi, sepertinya tidak ada penghuni yang mendiami rumah itu. Kenzie sudah mengetuk berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Pintunya pun terkunci.

Sial, dia sekarang tidak tahu apa yang Nadia lakukan kepada adiknya. Semoga, Nadia tidak bermain tangan lagi kepada Qiran. Sudah cukup selama ini Qiran menahan sakitnya tamparan, deraan, dan omongan Nadia yang membuat hatinya tersakiti.

Kenzie kemabali pulang ke rumahnya. Malam nanti dia akan menghubungi Qiran kembali. Jika masih tidak bisa dihubungi, dia akan mencari Qiran bersama teman-teman geng motornya.

❦︎❦︎❦︎

Kebumen, 24 Agustus 2021

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang