02

87 12 37
                                    

Masih ada typo? Komen, yuk! Biar aku bisa benerin langsung hehe.

❦︎❦︎❦︎

"Aku hanya ingin mengetahui apa yang belum aku ketahui."

❦︎❦︎❦︎

Bulan dan bintang menghiasi malam yang cerah. Sunyi mendominasi suasana malam ini. Ibu Qiran sedang pergi makan malam bersama rekan kerjanya. Jika ditanyakan ayah Qiran? Maka jawabannya adalah tidak tahu. Dulu, saat Qiran masih SMP, dia meminta ayahnya untuk menjemput. Namun, ayahnya tak kunjung datang ke sekolah hingga petang hari. Dirinya mengira bahwa sang ayah masih sibuk dengan pekerjaannya. Pikirannya selalu mencoba memikirkan hal yang positif.

Saat itu, Qiran memutuskan untuk kembali ke rumah menggunakan angkot. Setelah sampai di rumah, Nadia terlihat termenung di sofa. Seperti biasa, Nadia akan memarahi Qiran karena terlambat pulang. Pada waktu itu, dia masih mempunyai sang nenek yang membelanya. Ketika Qiran bertanya di mana keadaan ayahnya, semua menjawab bahwa ayahnya meeting di luar kota. Namun, apakah meeting memerlukan waktu bertahun-tahun?

Sekarang, neneknya telah tiada. Namun, Qiran belum bisa menemukan titik terang di mana ayahnya berada. Ingin rasanya dia mengadu pada sang ayah bahwa dirinya lelah. Dia rindu dekapan sang ayah. Pelindungnya kini sudah tidak ada. Hanya air mata yang selalu menemaninya.

Qiran sempat berpikir, sebenarnya apa salahnya hingga ibunya begitu benci dirinya? Sebelum kepergian ayah, Qiran sudah sering diperlakukan buruk. Dia harus apa? Qiran lelah, tetapi dia tidak bisa melawan atau pun membenci ibunya. Dia hanya bisa menerima apa pun perilaku ibunya.

Atensinya menatap langit yang terang akibat bulan dan bintang. Hari ini dia merasa sedikit lega karena tidak mendapat omelan dari sang ibu. Kini, dia merindukan sosok ayahnya yang dulu selalu menjadi tameng pelindungnya. Di mana dia sekarang? Apakah dia tahu keadaan Qiran saat ini? Apa mungkin dia sudah tidak lagi peduli? Miris sekali hidup Qiran.

"Jika memang aku hidup hanya untuk mendapatkan penderitaan, bolehkah aku mati untuk mendapatkan kebahagiaan?" ucapnya sembari menatap langit malam. Dalam genggamannya, terdapat sebuah pisau kecil yang tajam. Pisau itu dia arahkan di atas pergelangan tangannya.

"Qiran, kehidupan itu seperti roda yang berputar. Ada kalanya kamu bersedih juga bahagia. Nenek mohon, seberapa besar cobaan yang kamu hadapi, tetap bertahan. Tuhan sayang sama kamu, cobaan itu adalah bentuk rasa sayang dari Tuhan. Jangan pernah mencoba menyerah, apalagi hingga kamu mencoba untuk mengakhiri hidupmu."

Tiba-tiba saja bayangan nenek saat memberi nasehat terlintas di pikiran Qiran. Pisau itu terjatuh dan sedikit menggoreskan luka. Harapan Qiran saat ini adalah semoga Tuhan memberikan ketabahan hati yang besar bagi Qiran. Dia butuh penopang hidupnya, dia butuh bahu untuk bersandar, dia juga butuh seorang penyemangat. Namun, saat ini dia hanya sendiri. Nara? Dia tidak bisa selalu mengandalkannya.

"Qiran, turun, Nak!" Suara teriakan menggema membuat Qiran tersentak. Dengan cepat, dia keluar kamar dan menuju sang ibu yang berteriak memanggil namanya.

"Ada apa, Ma?" ucap Qiran menunduk takut.

"Buatkan minum untuk teman-teman Mama, ya," jawab Nadia dengan tutur kata lembut sembari mengelus rambutnya.

"I-iya," jawabnya gugup. "Permisi, Tante," pamit Qiran kepada teman-teman Nadia.

Sungguh pencitraan yang sangat bagus. Baru pertama kali Qiran mendapat perilaku selembut itu. Meski hanya sebuah drama, tetapi Qiran bersyukur. Setidaknya dia pernah merasakan usapan lembut dari sang ibu. Andai saja tidak ada teman-teman Nadia, yang dia dapatkan pasti sebuah tamparan.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang