23

66 6 0
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Ragamu ada, tetapi nyawamu menghilang."

❦︎❦︎❦︎

Di dalam ruang rawat Qiran terlihat ramai. Sahabatnya, kakak, ayah, Naura, dan sahabat kakaknya berada di sana untuk menjenguk Qiran. Canda tawa dilontarkan oleh semua orang hingga terciptalah tawa bahagia untuk melepas beban.

Tawa mereka seketika terhenti ketika seseorang membuka pintu ruang rawat Qiran. Orang itu tampak ragu untuk masuk, tetapi dia berusaha bersikap biasa saja. Dengan segenap keberanian yang ada, dia mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam.

"Mau ngapain Tante ke sini!" sinis Karin memecah keheningan.

"Hanya ingin menjenguk anak saya," jawab Nadia.

Qiran menggenggam tangan Kenzie dengan erat. Dia merasa takut akan kehadiran Nadia. Apakah Nadia akan menyakitinya kembali? Itulah yang kini berada di pikirannya.

"Boleh saya berbicara empat mata dengan Qiran?"

Tio mengisyaratkan mereka untuk pergi dari ruang rawat Qiran sehingga membiarkan Nadia untuk berbicara dengan Qiran. Kenzie sempat menolak, tetapi dengan anggukan Qiran, Kenzie akhirnya meninggalkan mereka berdua.

Ada rasa takut jika tersendiri bagi Qiran saat hanya berdua dengan ibunya. Bagaimanapun juga dia belum bisa percaya begitu saja dengan Nadia. Dia berusaha untuk berprasangka baik kepada Nadia. Berprasangka buruk kepada seseorang itu tidaklah baik. Apalagi pada ibu sendiri.

Nadia mendekat ke arah Qiran yang berbaring di atas brankar. Ada rasa takut yang tersirat dalam mata Qiran saat Nadia melihatnya lekat. Senyum manis terukir dari bibir Nadia ketika melihat Qiran ketakutan.

"Maafin Mama, Qiran," pinta Nadia kepada Qiran.

Qiran meneteskan air matanya ketika melihat Nadia yang tampak tulus. Namun, entah mengapa dia merasakan firasat buruk. Dia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya padanya atau bahkan pada orang yang dia sayang. Intinya perasaannya kini tengah tidak enak.

"Mama tau? Qiran itu sebenarnya sakit, Ma. Qiran sakit saat Mama terus-terusan tampar Qiran. Tapi apa? Mama selalu tertawa kalau liat aku kesakitan? Cambukan Mama bikin lengan sama kaki Qiran merah, bahkan lecet. Qiran sakit, Ma. Tapi luka itu seakan tak terlihat di mata mata. Invisible wounds. Mama selalu tertawa melihat Qiran yang sakit. Apa gak ada sedikit pun rasa sayang yang terbesit di hati Mama buat Qiran?"

Qiran mengatur napasnya. "Kakak pernah cerita, kakek meninggal karena nyelamatin Qiran, ayah juga hampir meninggal karena Qiran, bahkan nenek sakit juga karena beliau belum bisa menerima kakek yang meninggal. Secara gak langsung itu juga karena ulah Qiran. Apa itu yang bikin Mama segitu bencinya sama aku?"

Air mata sudah mengalir deras di pipi Qiran. Posisinya sekarang duduk bersandar di kepala ranjang. Nadia mencoba untuk memeluk Qiran, tetapi Qiran menghindar. Nadia tersenyum maklum melihat Qiran.

Nadia tampak tidak terjadi apa-apa di masa lalu. Dia seakan menghilangkan ingatan itu. Hanya senyuman yang terbit tanpa sepatah kata. Melihat Qiran yang menangis juga tak merubah ekspresinya.

❦︎❦︎❦︎

Semua orang yang tadinya berada di ruang rawat Qiran kini berada di kantin rumah sakit untuk mengisi perut yang kelaparan. Mereka makan dengan tidak semangat. Entah mengapa mereka masih merasa tidak nyaman jika meninggalkan Qiran bersama Nadia.

"Gue gak betah di sini. Perasaan gue gak enak terus dari tadi," ujar Kenzie sembari memakan nasi gorengnya.

"Kalian kenapa dengan mudah percaya sama Tante Nadia. Kalian gak inget kalo dia itu yang udah bikin Qiran kayak gini. Bukannya gue mau berprasangka buruk, tapi apa kalian gak mikir? Mana ada orang yang dulunya benci tapi sekarang bersikap selayaknya gak pernah terjadi apa-apa." Ungkapan Naura mengundang perhatian semua orang yang ada ada di sana.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang