15

31 5 0
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Jika ada hal yang ingin kamu ketahui, tanyakan bukan renungkan. Merenung tidak membuat kamu mendapat sebuah jawaban."

❦︎❦︎❦︎

Takdir yang Tuhan rangkai memang luar biasa. Tidak ada yang tahu bagaimana ending sebuah kisah yang akan usai. Jika saja takdir bisa diterawang layaknya sebuah pastik bening transparan, pasti semua orang tidak akan terkejut dengan apa yang akan terjadi ke depannya.

Saat ini, Qiran masih berada di ruangan berbau obat-obatan ditemani oleh kedua sahabatnya. Ketiga lelaki yang tadinya menemani Qiran telah pulang menuju rumahnya masing-masing. Mereka memerlukan istirahat juga. Apalagi Kenzie yang sedari dini hari telah menemaninya hingga pagi hari. Keano dan Jojo juga pasti merasakan sakit dan pegal pada badannya akibat tidur di sofa.

Qiran sedari tadi tersenyum. Dia masih tidak menyangka jika Kenzie adalah kakak kandungnya. Betapa bahagianya dia memiliki seorang kakak yang sangat pengertian. Namun, Qiran belum tahu siapa dokter yang menanganinya di rumah sakit ini.

"Qiran, lo waras?" tanya Karin bergidik ngeri melihat sahabatnya terus-menerus tersenyum sendiri.

"Qiran lagi bahagia tau," ucapnya sembari tersenyum manis.

Nara yang melihat sahabatnya bahagia pun merasa senang. Dia tidak pernah melihat senyum manis yang begitu tulus dari Qiran. Selama ini dia hanya melihat senyum palsu yang Qiran gunakan untuk menutupi luka tak kunjung usai.

"Permisi, ini makan siang pasien." Seorang suster menghampiri Qiran untuk memberikan jatah sarapan.

"Makasih, Sus."

"Makan, jangan dibuang. Sakit lagi baru tau rasa lo," sarkastis Nara.

"Makan, Ran. Gue sama Nara mau nonton drakor dulu hehe." Rara cengengesan menimpali ucapan Nara. Dengan segera mereka duduk di sofa dengan laptop di hadapan mereka.

Qiran memandang makanan di hadapannya tanpa selera. Bagaimana mau selera, bubur hambar yang tidak menarik untuk dimakan. Ingin rasanya Qiran membuang bubur itu. Namun, tidak bisa, yang ada dia akan mendapat omelan dari Nara.

Dengan berat hati dan tanpa selera, Qiran memakan bubur itu dengan perlahan. Suapan ketiga membuat dia memuntahkan isi perutnya. Untung saja dia segera berlari menuju toilet hingga membuat selang infus yang menepel pada tangannya terlepas. Hal itu membuat tangannya mengeluarkan darah.

"Papa?"

Qiran yang yang baru saja keluar dari toilet terkejut melihat kehadiran Tio. Dia tahu, pasti Kenzie yang mengabati Tio bahwa dirinya berada di rumah sakit. Qiran kembali berbalik ke dalam toilet saat merasakan tetesan di kakinya. Darah di punggung tangannya terus keluar, jadi dia membasuh tangan dan kakinya terlebih dahulu.

Perlahan, Qiran menghampiri sang ayah yang telah duduk di kursi samping brankar tempat Qiran tidur. Dia memeluk Tio dengan erat, menumpahkan segala kerinduan dan rasa sakitnya. Tidam ada seorang anak yang mampu menahan rasa sakit saat berada di dekat orang tuanya. Apalagi faktor penyebab rasa sakit itu adalah orang tuanya sendiri.

"Kakak kamu bilang kalau kamu menang olimpiade. Selamat, ya. Anak Papa hebat banget, papa bangga sama kamu. Maafin Papa yang tidak pernah ada di samping kamu saat kamu terluka." Tio mengelus surai hitam panjang milik Qiran. Rasanya begitu sakit saat melihat putri satu-satunya harus menanggung beban yang berat.

"Papa gak salah. Tadi Papa bilang kalau Papa bangga sama Qiran, tapi sayangnya Mama gak bangga sama Qiran. Qiran bahagia masih ada orang yang peduli sama aku. Namun, Qiran lebih bahagia kalau salah satu orang yang peduli sama Qiran adalah Mama," terang Qiran sembari menatap manik cokelat milik Tio.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang