13

29 6 0
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Jangan menuntut sempurna pada semua orang. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing!"

❦︎❦︎❦︎

Hawa dingin masuk merasuki kulit yang sedari tadi tertempel dengan dinding. Tidak ada satu pun titik penghangat dalam ruangan sempit berisi kulah dan closet. Tubuh bergetar menahan dinginnya malam serta menahan sesak dalam dada yang kini datang.

Lima jam sudah Qiran terkunci di dalam toilet. Padahal dia belum makan sebutir pun nasi hari ini, dia berjanji untuk menjaga kesehatannya. Namun, janji itu musnah dalam jangka waktu belum juga sehari. Tubuh Qiran bergetar hebat, dia merasakan dingin yang amat dalam hingga menusuk tulangnya.

Tangannya yang bergetar mengambil tas di punggungnya. Dia baru teringat akan ponselnya yang bisa digunakan untuk meminta pertolongan. Daya ponselnya masih cukup banyak karena dia tidak bermain ponsel hari ini. Pandangannya mengabur, dia hanya memencet aplikasi kontak dan sedikit menye-croll lalu memencetnya. Dia tidak tau siapa yang tengah dia hubungi.

Qiran menempelkan ponselnya pada telinganya sebelah kirinya. Suara sambungan telepon membuat hatinya menjadi sedikit lega. Badannya sudah lemah, dia ingin bertahan. Namun, dia sangat sulit akibat ruangan yang terlalu kecil dan pengap membuat napasnya tidak teratur.

"Hallo?" terdengar suara dari seberang sana.

"To-tolongin Qi-ran," jawab Qiran dengan terbata.

Brak!

Tutut ....

Ponsel Qiran merosot ke lantai akibat dia sudah kehilangan kesadarannya. Tubuhnya terkapar bersandarkan dinding sebagai penyangga. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Berteriak? Tidak akan bisa, Qiran saja sudah tidak sadarkan diri.

❦︎❦︎❦︎

Di sebuah rumah kosong yang dijadikan tempat perkumpulan geng motor sedang diadakan berbagai permainan. Mereka bermain dengan acak. Ada yang bermain catur, bekel, truth or dare, serta masih banyak lagi. Sekelompok orang yamg tengah bermain TOD menghentikan permainannya saat dering ponsel milik salah satu orang di sana terdengar.

"Woy! Musiknya matiin dulu. Gue mau terima telpon!" ucap orang itu.

Semua yang ada di ruangan itu menghentikan aktivitasnya dan terdiam. Mereka menurut pada perintah orang itu. Dari pada mereka terkena omelan, lebih baik diam pikir mereka. Semua orang yang melihat raut wajah orang itu menjadi penuh tanya. Heran, pasti! Setelah menerima telepon dari seseorang, orang itu terlihat panik.

"Kenapa, Jo." Pertanyaan muncul dari orang di depannya. Jo? Ya, dia adalah Jojo si penjual nasi goreng.

"Ituan, anuan, nganu ...," Dia bingung cara menjelaskan kepada temannya.

"Bego dipelihara lo! Gak usah ambigu, kita gak paham!"

"Zie, No, ikut gue cepetan!"

"Gue kagak, Bang?"

"Lo di sini aja, Ndra sama anak-anak lainnya." Raut wajah Jojo benar-benar panik. "Buruan lo berdua ikut gue!"

Jojo dan dua temannya pergi dari markas tempat mereka berkumpul. Dia menaiki motornya disusul oleh Keano dan Kenzie di belakangnya. Pasalnya, mereka tidak tahu tempat yang akan dituju saat ini. Jadi, mereka memilih untuk mengikuti saja.

Mereka berhenti di sebuah rumah yang tidak asing. Bahkan, rumah itu adalah rumah yang sore tadi mereka kunjungi untuk mengantar teman dari adik Keano. Rumah Qiran, itulah jawaban yang tepat untuk memaparkan letak di mana mereka sekarang.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang