05

52 9 11
                                    

❦︎❦︎❦︎

"Titik lemah seorang anak adalah orang tuanya. Jika orang tua memberikan semangat mengenai impiannya, maka anak itu akan giat dalam belajar. Namun, jika orang tua tidak memberikan itu, atau justru malah memberikan kalimat yang membuat anak down, itu akan membuat mental sang anak rapuh dan berakhir kata menyerah yang terucap."

❦︎❦︎❦︎

Takdir mungkin tidak dapat dihindari. Pembuat skenario hidup paling indah adalah Tuhan. Sekeras apa pun menentang sebuah takdir, itu akan sia-sia. Jalani saja dengan ikhlas, maka perjuangan itu akan menentukan akhir kisah hidup kalian.

Setiap orang memiliki cara pandang masing-masing. Orang menyimpulkan dari sisi yang mereka lihat. Jika anggapan kalian mereka jahat, maka, ya, jahat. Karena kalian hanya melihat sisi itu, sisi yang kalian lihat. Spekulasi setiap orang itu berbeda. Maka, bijak-bijaklah dalam menilai dan melihat sudut pandang seseorang.

Perihal keberuntungan, semua orang pasti mendapatkan. Namun, tidak setiap hari seseorang mendapatkan keberuntungan. Seperti hari ini yang terjadi pada Qiran. Dia berniat untuk menyembunyikan luka yang ada di tangan dan kakinya. Namun, hari ini ada jadwal olahraga, celana pendek selutut dan baju pendek mendominasi penampilan Qiran. Hal itu membuat betis dan lengannya yang memerah terpampang jelas.

Awalnya, Qiran ingin memakai hoodie, tetapi karena hawa yang sangat panas, dia tidak jadi menggunakannya. Alhasil sekarang dia diinterogasi oleh kedua sahabatnya. Karin terus saja mendesak Qiran untuk menjawab jujur mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku kesrempet motor kemarin," ucap Qiran sembari meremas celana olahraganya.

Qiran sulit untuk berbohong dengan sahabatnya. Apalagi Nara, dia sudah mengerti akan kehidupan Qiran. Sebesar apa pun usahanya untuk menutupi, pasti suatu saat nanti akan diketahui. Nara peduli terhadap sahabatnya itu, maka dari itu sebisa mungkin dia akan menjadi penguat untuk Qiran.

"Really?" Karin mengeluarkan aura intimidasi.

"Banyak omong lo, Rin. Ayo buruan ke lapangan, udah ditunggu Pak Aryo," ucap Nara menengahi obrolan Karin dan Qiran.

Mereka menuju lapangan olahraga yang sudah dipenuhi teman-teman sekelasnya. Panas begitu terik seakan membakar kulit orang yang terkena pancaran cahayanya. Para siswi mengibaskan tangannya sebagai kipas. Banyak wajah yang memerah akibat panasnya matahari.

"Pak, udah dong pemanasannya. Liat muka saya, Pak! Kebakar nih, nanti gosong gimana?" ujar Karin dengan wajah memerah.

"Ya sudah, kalian boleh istitahat sepuluh menit, setelah itu kembali berkumpul. Kali ini kita akan mempraktikkan teknik dasar permainan bola voli," ucap Pak Aryo.

Seketika semuanya berteriak girang dan menuju tempat yang teduh untuk minum. Setelah itu mereka kembali berkumpul dan melanjutkan olahraga hari ini. Praktik dilaksanakan urut nomor absen. Oleh karena itu, dia masih bersantai kerena namanya termasuk dalam sepuluh absen terakhir.

Qiran memperhatikan teman-temannya. Beberapa kesulitan dalam teknik servis atas. Banyak yang tidak melewati net pada teknik tersebut. Dia hanya santai, karena dia sangat mahir dalam olahraga voli. Mungkin dia akan sedikit kesulitan karena tangannya yang masih sakit, tetapi itu tidak menjadi masalah bagi dirinya.

Saat Nara sudah praktik, Qiran segera beranjak dari duduknya. Dia menunggu dirinya dipanggil untuk praktik. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya dia dipanggil.

"Qiran Adhisti!"

Qiran berjalan ke ujung lapangan dan mengambil posisi yang tepat. Seluruh pandangan mata mengarah padanya. Bola berwarna kuning dan hitam sudah berada di tangan Qiran.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang