06

48 10 2
                                    

Suara riuh di kantin sangat memekakkan telinga. Teriakan dari setiap sudut kantin mendominasi keadaan yang sangat kacau. Hari ini semua siswa SMA Nusa Jaya baru saja melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah. Jadi, sekarang semua siswa berebut untuk membeli makanan dan minuman di kantin.

Lain hal dengan Qiran yang kini berada di kelas, dia membawa bekal sendiri kali ini. Lagi pula di kelas ada kipas angin yang bisa meredakan kegerahannya. Jika dia di kantin, maka akan merasakan gerah yang lebih mendalam. Nara dan Karin menuju kantin karena mereka tidak membawa bekal, Qiran tidak masalah jika dirinya harus sendiri.

Rasa bosan menyapa Qiran. Pikirannya beralih pada halaman di belakang sekolah yang terdapat pohon rindang. Dengan cepat Qiran menyelesaikan makannya lalu beranjak menuju tempat tersebut. Bibirnya membentuk senyum yang indah kala melihat tempat itu tampak sepi. Qiran menyelipkan earphone ke telinganya dan memutar musik secara random.

Qiran duduk di bawah pohon rindang sembari menikmati angin yang berembus. Sesekali surai hitamnya beterbangan mengikuti arah angin. Hawa yang tadinya sangat panas kini menjadi sejuk.

"Eh!" Qiran terkejut saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Wajahnya begitu lucu saat terkejut, hal itu membuat orang itu tak kuasa menahan tawanya.

"Kak Chandra ngagetin aja," ucap Qiran sembari mendengkus sebal. Dia melepas earphone yang masih bertengger di telinganya.

"Jangan lupa nanti siang kita ada bimbingan lagi. Kali ini bimbingannya lebih cepet. Jadi jam satu siang kita udah harus sampai ke perpustakaan."

"Tapi 'kan jam satu belom waktunya pulang, Kak. Biasanya juga jam dua," heran Qiran.

Dia bahkan baru mengetahui informasi ini. Padahal ada grup untuk para peserta perwakilan olimpiade, tetapi mengapa tidak disampaikan di sana saja? Entahlah, yang terpenting bagi Qiran kini adalah dia tidak akan terlambat pulang ke rumah lagi.

"Ini cuma khusus yang fisika saja," ucap Qiran kembali menyernyit heran. Mengapa hanya bidangnya dan Chandra saja?

"Jam tiga sore Bu Aina ada urusan," jelas Chandra membuat Qiran mengangguk paham.

Keduanya saling diam di bawah pohon rindang. Chandra dan Qiran fokus pada pemikirannya masing-masing. Qiran melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. Masih pukul dua belas siang, itu artinya satu jam lagi bimbingan akan di mulai.

Qiran ingin beranjak tetapi tiba-tiba kepala Chandra jatuh di bahunya. Hal itu membuat Qiran mengurungkan niatnya. Perasaan bingung merasuki dirinya. Jika dia pergi, maka akan mengganggu tidur Chandra. Jika tidak pergi? Dia takut teman-temannya mencari.

Dari pagi hari hingga sekarang, Qiran tidak menyalakan data ponselnya. Dia terlalu malas melihat notifikasi tidak penting dari grup kelasnya. Dia memang bukan orang yang banyak dikenal orang di sekolahnya, mungkin mereka mengenal Qiran hanya sebatas nama karena dia sudah pernah mewakili sekolah untuk beberapa lomba.

Setengah jam berlalu, Qiran membiarkan Chandra terlelap di bahunya. Waktu yang cukup lama bagi Qiran. Karena setengah jam lagi akan diadakan bimbingan, dengan tidak tega dia membangunkan Chandra. Lagi pula jika berada sedekat ini dengan Chandra, itu tidak baik bagi kesehatan jantungnya.

"Kak, bangun dong," ucap Qiran sembari menepuk pipi Chandra pelan.

Chandra yang merasa terusik pun perlahan mengerjapkan matanya. Rasanya sangat nyaman bersandar pada bahu Qiran. Dia menoleh ke atas, tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa detik. Qiran memutuskannya terlebih dahulu dan menunduk.

"Aku mau ke kelas, Kak. Sebentar lagi bimbingan mulai. Permisi!" Qiran beranjak dengan cepat hingga membuat Chandra hampir sama terjatuh di tanah karena dia masih bersandar.

Invisible WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang