Kontrak...

26 7 0
                                    


Ini sudah minggu ke-2 sejak kami memulai perang dingin. Ucapan gua tentang usahanya mengubah takdir, tidak bisa dia terima. Obrolah terakhir itu membuat kami berdua tidak lagi bicara satu sama lain. Ini justru kesempatan yang bagus pikir gua, karena dengan begini gua bisa hidup tenang dan sempurna seperti sebelum kehadirannya. Lagi pula, gua tidak peduli apakah dia marah atau tidak, semakin dia menjauh, justru semakin bagus.

Masuk jam pelajaran ketiga, gua dan anak-anak kelas 11 IPA 1 mengganti pakaian putih abu-abu dengan pakaian olahraga. Pelajaran olahraga kali ini adalah basket. Gua yang jago main segala jenis permainan olahraga, mencetak cukup banyak angka di permainan ini. Merasa lelah, gua pun beranjak ke pinggir lapangan dan duduk menyendiri dengan tampan sambil menenggak minuman energi.

"Eh, Dra! Mana kontaknya Rara? Katanya lo mau pintain, gimana sih?" tagih Sadat. Anak itu mendekat dan kemudian duduk di samping gua.

"Iya iyaa, bentar gua cari dulu kontaknya," jawab gua mengeluarkan ponsel dari kantong, "Nah! Ini dia, Rara Fitria."

"Wah! Sini-sini!" Sadat merebut ponsel gua untuk menyalin nomor kontak Rara. Dia terlihat berapi-api.

"Dat, lo kayanya cinta banget yah sama dia?" ucap gua dengan tawa kecil.

"Hahaha! Bisa aja lo, Dra. Enggak, lah! Nggak banget, jir! Biasa aja!" jawab Sadat yang juga ikut tertawa kecil.

"Gua ngebet banget, Dra, sama dia!" sembunyi Sadat dalam pikirannya.

Gua tersenyum kecil, mulut dan kepala bedebah satu ini saling belawanan.

"Dari apa yang gua liat nih, mending lo cepet-cepet deh deketin dia!" usul gua dengan serius.

"Eh? Emangnya kenapa, Dra?" tanya Sadat.

"Yaa, lo tau 'kan Rara tuh cakep. Nggak mungkin cuma elo doang yang suka sama dia, Dat!" jawab gua.

"Aduh! Harus gimana dong nih gua? Tapi, emang siapa lagi yang suka sama dia? Berani-beraninya dia jadi saingan gua!" seru Sadat.

"Sebenarnya sih ini rahasia, tapi karena lo satu-satunya teman baik gua, gua kasih tau rahasia kecil ini sama lo," gua mendekat ke telinganya, "Sebenarnya, Ringgo tuh juga suka sama Rara," bisik gua.

"Ah, kampret! Serius lo?" Sadat terkejut.

"Lo pernah liat gua bercanda?" gua bertanya balik padanya.

"Anjrit! Ah, gua nggak mau kalah! Ringgo!"

Sadat pergi entah kemana. Mungkin menemui Ringgo untuk membuat semacam tantangan atau pertaruhan bodoh mengenai Rara. Gua hanya tertawa dan menghabiskan minuman botol yang masih gua genggam.

Tidak lama kemudian, "Ravi!" panggil Cha-cha.

Astaga! Sepertinya semua orang tidak bisa membiarkan gua sendiri. Gua hanya menghela napas.

"Hm?" gumam gua singkat.

"Gua boleh duduk disini nggak?" tanyanya dengan hati-hati.

"Aduh! Harus gimana, nih? Malu banget!" ucap Cha-cha dalam pikirannya.

Dari apa yang gua liat, sepertinya ini akan menjadi pengakuan cinta ke-3 yang gua terima hari ini.

"Boleh, duduk aja," jawab gua.

"Aduh, si Ravindra diem aja kok ganteng banget, sih?" pikir Cha-cha sambil duduk di samping gua.

Gua hanya diam mengamati anak-anak lain yang masih main basket di lapangan. Gua juga melihat si dukun itu di sana, namun gua sudah tidak menghiraukannya lagi.

Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang