Sebuah Pengakuan.

11 2 0
                                    


Ini adalah harinya. Hasil latihan kami selama dua minggu akan kami tunjukkan di depan siswa lain. Kami semua sibuk mempersiapkan diri sebaik mungkin. Gua sibuk dengan gitar, Rafael dengan bass-nya, Sadat dengan drumnya, Cha-cha dengan gitarnya, dan juga Rika yang sibuk dengan vokal dan keyboard-nya. Satu hal yang baru gua ketauhi, ternyata acara ini juga dilombakan. Setiap penampilan masing-masing kelas, akan dipilih tiga terbaik di antaranya. Menurut gua, justru itulah yang membuat acara ini menjadi semakin menarik. Namun, angan gua seakan sirna setelah kami tiba di tempat.

Bruweee!!!

Gua muntah di toilet.

"Dra, udah please jangan mati dulu, deh! Lima kelas lagi kita tampil, nih!" teriak Rafael dari balik pintu.

"Hadeh, bawel lo! Kepala gua sakit banget!" sahut gua.

Bruweee!!!

"Dra, ayo dong, kita ngomongin di depan dulu. Yakin kok gua, lo kuat!" sambung Sadat.

Dengan wajah agak pucat, gua pun keluar dari toilet, lalu membasuh wajah gua di wastafel.

"Lo kenapa nggak kalo bilang orangnya bakal serame ini, sih?" tanya gua ke Rafael.

"Apaan, sih? Namanya juga pelepasan, semua murid dan orang tua anak kelas 3 pasti dateng lah! Lo pikir satu angkatan cuma ada satu dua orang?" jawab Rafael kesal.

"Duh, tapi gua nggak mengira bakal sebanyak ini. Kepala gua sakit banget. Pikiran mereka semua masuk ke kepala gua begitu aja, gua bener-bener nggak tahan! Tapi btw, lo kenapa pake jas putih ngejreng sendiri, sih? 'Kan perjanjiannya kita pake jas hitam?"

"Jelas gua mau lebih keren aja dibanding kalian semua dong!" jawab Rafael.

"Raf, gua bisa baca pikiran lo kali. Jas item lo lagi direndem di cucian, 'kan?"

Rafael memainkan bola matanya, "Ah, udah lupain tentang jas! Balik lagi ke elo nih, lo nggak usah tatap mata mereka aja gitu. Bisa nggak, sih?"

"Ya tapi gimana caranya? Gua harus jalan nunduk gitu?" kesal gua.

"Patut dicoba!" timpal Sadat.

"Gak masuk akal!" bantah gua

"Ya abis mau gimana lagi?" tanya Sadat.

"Ya udah, ya udah. Mending sekarang kita ke depan dulu deh. Si Cha-cha sama Rika belum datang juga, 'kan?" tanya gua ke Rafael dan Sadat.

"Ya udah deh, ayo!" jawab Sadat.

Sadat dan Rafel jalan mendahului gua.

"Eh, eh!" panggil gua, "Lo berdua mau kemana?"

Mereka menoleh, "Lo gimana, sih? Tadi katanya mau ke depan?" ketus Rafael.

"Ya iya, pegangin gua lah! Gimana caranya gua keluar? Orang rame gitu!" tanya gua.

"Astaga! Lo menyebalkan banget yah!" jawab Rafael sedikit kesal.

"Yaudah sini. Lo ngadep bawah aja, pegang pundak gua," ucap Sadat memberikan pundaknya.

Cara jalan kami seperti sedang baris-berbaris. Rafael paling depan, Sadat di tengah, dan gua di belakang. Gua tidak mempedulikan sejumlah panggilan yang diteriakkan oleh anak-anak di sepanjang lobby menuju keluar.

"Huh, akhirnya gua bisa napas!" seru gua setelah sampai di luar gedung.

"Kemampuan lo kadang ngerepotin juga ya, Dra," ucap Sadat.

Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang