Jawaban...

0 0 0
                                    

Tempat ini, hampir setiap tahun gua kunjungi. Di tanggal yang sama dan juga bunga yang sama. Gua berjalan pelan cuaca pagi menjelang siang yang cukup terik namun tidak menusuk. Gua menaruh bunga itu di atas dua buah batu nisan yang jadi satu. Ini adalah hari kematian mereka.

"Mah Pah, Apa kabar? Seperti tahun-tahun sebelumnya hari inipun Reza selalu kurang baik. Tapi, hari ini Reza ingin mengembalikan sesuatu kekalian" Gua menaruh gelang pemberian kedua orang tua gua dulu diatas batu nisan mereka. Gelang yang selalu gua pakai 7 tahun ini. Sepertinya harus pergi juga bersama dengan mereka.

"Mulai Hari ini, Namaku Ravindra, Bukan Reza. Kehidupan Reza sudah berakhir persis hari ini, beberapa tahun lalu. Dengan memakai gelang ini terus, sama saja aku masih memelih untuk menjadi Reza, Mah Pah." Ada jeda "Aku bukan melupakan kalian. Bagaimanapun juga kalian yang membuat aku hidup didunia ini. Dan aku bersyukur dengan itu. Tapi aku gak bisa hidup selamanya di masa lalu Mah Pah. Aku harus terus berjalan untuk memulai semuanya. Aku harap kalian mengerti." Gua tersenyum setelah mengatakan itu. "Kalau begitu Reza, ahh bukan. Ravindra, pergi dulu ya. Ada seseorang yang harus Ravindra temui sekarang" Gua berjalan pergi meninggalkan area pemakaman. Entah kenapa, tempat ini selalu bisa membuat gua tenang.

Sudah 7 tahun lamanya gua gak bertemu dengannya lagi. Bagaimana rupanya? Apakah dia kurus? Apa dia sakit? Entahlah. Hari ini semua itu akan terjawab. Gua duduk menunggu. Dan sebuah kaca transparan tebal menjadi pembatas kami bicara. Dia duduk didepan gua. Matanya membesar melihat gua.

"Lama gak ketemu yah" Ada jeda "Papah"

"Ra-Ravindra, maksud saya Re-"

"Engga" Gua memotong. "Namaku Ravindra, Bukan Reza. Papah apa kabar?"

"Pa-papah baik papah baik. Kamu sendiri gimana. Ternyata benar yang di bilang Dani, Rambut kamu gondrong sekarang heheheh" Katanya

"Ravindra senang, bulan depan. Papah udah bisa bebaskan?" Papah mengganguk

"Maaf ya pah. Ravindra baru bisa ketemu papah sekarang. Menerima kenyataan itu begitu sulit"

"Papah yang minta maaf Ravindra, Selama ini sudah membohongi kamu dan pura-pura jadi orang tua kamu. Padahal, papahlah yang membunuh mereka. Papah minta maaf"

"Pura-pura?" Tanya gua. "Kalau memang itu semua pura-pura, ini adalah hari terakhir kita ketemu. Tapi kalau papah memang menjadi papah Ravindra. Ravindra akan sangat bersyukur. Karena setidaknya Ravindra masih punya satu orang tua sekarang" Air mata Papah keluar begitu banyak mendengar itu. Dia sangat terharu mendengar apa yang gua katakan barusan.

"Papah sayang sama kamu Ravindra, papah sayang sama kamu. Maafin papah, maafin orang tua gak berguna ini Ravindra maafin papah" Katanya sambil menangis. Dia berusaha menyentuh tangan gua meskipun ada penghalang di antara kami. Ia dengan tangannya yang masih di borgol meletakan jari jemarinya ke kaca penghalang. Gua melakukanya juga dan sekarang tangan kami seolah bersentuhan meskipun itu tidak.

"Sudah dimaafkan."

Keluar dari lapas gua menarik nafas dalam-dalam. Gua menahannya beberapa saat lalu melepasnya. Gak lama ada pemberitahuan pesan masuk.

Karin: Dra, lo dimana? Pengantinnya udah datang nih buruan!!

"Astaga gua lupa" Kata gua berlari masuk kemobil...

"Lo dari mana ajasih? Masa klien yang nungguin kita?" Tanya Karin tepat ketika gua baru sampai.

"Iya-iya maaf. Lo taukan ini hari apa?" Tanya gua.

"Hari?" Karin mengechek tanggal di handphonenya. "Oh iya." Katanya setelah menyadari hari ini hari kematian orang tua gua.

"Oke sekarang dari pada ngobrol mending kita semua kerja yuk" Kata gua kepada seluruh tim. "Ayo, mas kalau bisa lebih mesra lagi meluk calon istrinya. Nah sip oke, tahan" "Cekrek" Suara shutter kamera berbunyi.

Karin adalah partner kerja gua distudio foto yang gua buat. Kami sudah cukup lama kenal. Waktu kuliah dulu dia adalah orang paling kikuk dikampus. Gak bisa ngelakuin semuanya dengan benar dan selalu kena omelan dosen. Tapi, seolah jadi orang yang berbeda. Karin yang gua kenal sekarang adalah sosok pribadi yang sangat bertanggung jawab, dewasa, humble dan juga pintar. Meskipun gua atasannya, kayaknya malah seringan diadeh yang ngomelin anak-anak ketimbang gua.

"Rin"

"Apa?"

"Gua mau ngomong tapi lo jangan marah ya" Kata gua, Karin mengerutkan dahinya.

"Ya-yahh apa dulu. Mana bisa gitu? Orang gua aja belum tau lo mau ngomong apa?"

"Yah apapun itu intinya lo jangan marah okey?"

"Gak mau" Kata Karin menggeleng

"Kenapa gak mau?"

"Yah karena gua gak tau lo mau ngomong apa pak bos"

"Yah tapi lo jangan marah." Kata gua meyakinkan.

"Yah gua gak mau"

"Ya udah gak jadi"

"Kok gak jadisih?"

"Ya makanya lo jangan marah" Dia diam sejenak.

"He em" Katanya mengangguk.

"Oke benar ya gak marah ya"

"Iya bawel. Cepet" Gua tersenyum. "Cepet malah senyam senyum."

"Gua gak mau ambil foto wedding lagi." Dia yang tadi minum soda tiba-tiba tersedak.

"A-apa-apa tadi lo bilang?"

"Gua gak mau ambil job wedding lagi"

"Gua gak salah dengar?"

"Apa yang lo dengar persis kok sama yang keluar dari mulut gua"

"YAHH TERUS KITA DAPAT DUIT DARI MANA BOSS!?"

"Nohkan, tadi katanya gak marah" Karin menarik dan mengeluarkan nafasnya mencoba menenangakan diri.

"Huff haft, sabar Karin. Dapat bos begini emang cobaan buat lo. Lo harus sabar."

"Ya harus dong"

"DIAM!"

"Oke" Karin menenggak habis minumannya.

"Kenapa? Kenapa alasannya?"

"Yah, lotaukan. Sebenarnya guatuh gak pengen foto-foto beginian. Nunjuk-nunjuk langit, pura-pura ketawa, belaga romantis itu semua terlihat-"

"FAKE!" Kata Karin dan gua berbarengan.

"Nah itu tau."

"Yaiyalah orang selalu itu yang lo curhatin ke gua tiap harinya"

"Kali ini, gua udah gak tahan lagi Rin, bukan gua banget foto-foto fake kaya gini. 4 tahun foto beginian cukuplah buat gua. Gua mau kembali ke jalan yang benar Rin."

"Yah tapikan, omset paling besar di perushaan kita dari situ. Ravindra bosku tercinta. mau dikemanakan studio kita ini."

"Yang berenti foto nikahankan gua doang. Masih ada elo, Aco, Firman sama anak-anak yang yang lain. Gua mau berenti bukan berarti nutup studio juga"

"Iyasih. Tapikan klien, banyak mau difotonyakan sama elo."

"Yah makanya lo sama anak-anak latihan foto lagi biar foto kalian bisa menyamai karya maestro si tangan dewa ini hehehe"

"Maksud lo foto gua gak bagus!?"

"Bukan gak bagus. Tapi gak sebagus gua"

"Dasar!" Kata Karin mendorong bahu gua. Karin melihat kantung jaket gua. Disana ada sebuah buku berwarna kuning dengan sampul yang cukup unik. "Malam ini lo jadi ke acara reunian sekolahlu?"

Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang