Acara pelepasan sudah berlalu, kenangannya punya ruang tersendiri di hati gua. Sejak malam itu, gua dan Rika jadi sering bertemu. Meski awalnya Rika tidak menjawab telepon dan membalas pesan gua karena malu, namun perlahan dia mulai menanggapinya kembali. Beberapa pertemuan memberikan rasa yang berbeda, karena kami tidak dalam misi mengubah takdir. Kami terlihat seperti orang normal pada umumnya yang menghabiskan waktu bersama dengan menonton film, makan di restoran, dan hal-hal klise lainnya.
Pekan depan, gua akan menjadi siswa kelas 3. Itu artinya, kehidupan sekolah gua akan berakhir sebentar lagi. Kalau diingat-ingat, kelas 3 itu hanya memakan waktu kurang lebih 6 bulan hingga pengumuman kelulusan. Masa-masa itu akan berlalu dengan cepat. Untuk mengisi sisa libur, Rika mengajak gua ke tempat yang cukup menyenangkan.
"Ravindra?" panggil Rika melalui telepon.
"Hm, kenapa?"
"Besok, kamu mau temenin aku nggak?"
"Kemana? Ngapain?"
"Kita ke suatu tempat!"
"Apaan, nih? Kok terdengar mencurigakan? Sesuatu yang mengerikan lagi?"
"Bukan! Udah, ikut aja, oke? Ada seseorang yang mau aku kenalin ke kamu," ucapnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Rika menutup teleponnya.
Entahlah, gua juga tidak tahu ke mana tujuan dia.
Keesokannya, kami naik kereta menuju sebuah desa. Sepanjang perjalanan, dia terus melakukan kegiatan menyebalkan. Membentuk pesawat-pesawatan, berbicara sendiri sambil berkhayal dan hal-hal kekanakan lainnya. Lebih parahnya, sekarang dia melibatkan gua dalam permainan gilanya itu. Sepertinya, sampai kapan pun gua tidak akan terbiasa dengan ini. Hal lain yang tidak dia tinggalkan adalah diary aneh ber-cover kuning itu. Diary itu sudah dibuka-tutup beberapa kali, kadang dia menuliskan sesuatu, kadang hanya membacanya saja.
Rika yang sedang makan di samping gua, tiba-tiba berkata, "Bilang A!"
"Ng-ngapain?" tanya gua.
"Udah, cepet bilang A!"
Gua pun menurutinya, "A!"
"Ngeeng!" serunya sambil mengarahkan sendok berisi nasi ke arah gua.
Jleb!
Sesuap nasi pun berhasil masuk ke dalam mulut gua.
"Waaah! Pesawatnya mendarat tepat, Ravindra! Hahaha!" ucapnya senang.
"Ha-ha-ha-ha, iya ya, mendarat tepat, ya," jawab gua yang berusaha masuk ke dunia anehnya, disertai tawa tidak ikhlas.
Sesampainya di stasiun tujuan, Rika mengajak gua untuk naik mobil bak pengangkut sayur. Kami berdua duduk di belakang mobil itu ditemani sayur-mayur lainnya. Mengetahui bahwa gua belum pernah melakukan hal seperti ini, Rika tertawa puas. Sepertinya dia sengaja melakukan ini. Tapi gua tetap menikmati perjalanan ini. Rasanya, perjalanan ini cukup romantis juga.
Kami pun tiba di sebuah tempat. Kehadiran gua dan Rika mengundang perhatian anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak itu kemudian berlari menghampiri Rika. Mereka memeluk Rika seolah kakaknya sendiri. Sepertinya, Rika sudah cukup terkenal di sini. Di tengah kerumunan anak-anak, muncul seorang ibu dengan wajah tidak terlalu tua, berpakaian orang kota yang meneriakkan nama Rika. Rika pun menghampirinya dan memanggilnya Ibu. Jadi, itu ibunya, wajah mereka tidak terlalu mirip. Sekarang, gua mengetahui bahwa bola mata hitam kecoklatan itu keturunan siapa.
Kemudian Rika mengenalkan gua kepada ibunya.
"Ravindra tante," sapa gua dengan ramah.
"Oh, jadi ini yang namanya Ravindra," ucap Ibunya membalas salam ramah gua, "Ganteng, ya?" ledeknya sambil memainkan bola mata ke Rika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)
Teen Fiction"Kamu jangan mengikutiku pulang! Nanti kamu akan mati!" kata Rika di hari pertama mereka bicara. Anak baru itu mengaku kalau ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain, salah satunya kematian. Sejak hari itu, kehidupan sempurn...