"Mas-mas bangun mas. Mas!" Suara seseorang membangunkan gua. Ternyata gua masih hidup. Gua berharap sebaliknya.
"Mas ngapain tidur disini?" Tanya cleaning service rumah sakit. Gua hanya diam gak menjawabnya.
"Saya gak tau harus kemana mas"
"Pulang mas, emangnya masnya gak punya rumah apa?"
"Rumah?" Pertanyaan yang gua jawab dengan pertanyaan lain. Kaki gua gemetar menuju pintu luar kamar mandi. Gua masih berharap kejadian kemarin hanya mimpi. Tapi setidaknya, gu-gua harus mengucapkan salam perpisahan bukan. Untuk yang terakhir kali.
Lalu, di loby. Gua bertatap mata langsung dengan tante Lilis. Kalau gua masih bisa membaca pikirannya. Dia pasti ingin membunuh gua sekarang. Dia masih menatap gua, gua membuang wajah menunduk. Tante Lilis jalan kearah gua. Gua hanya menunduk kaki gua membeku.
"Maaf. Maafin saya" Kata gua pelan ketika tante Lilis melewati gua, air mata gua ikut terjatuh bersamaan dengan kalimat itu. Dia berhenti mendengar kata-kata gua. Dia tidak menoleh kami saling memunggungi. "Seharusnya saya, seharusnya saya bukan Rika. Sa-saya minta maaf saya minta maaf" Tante Lilis diam tidak menjawab beberapa saat.
"Dia mencari kamu. Hanya nama kamu yang di sebutnya." Kata tante Lilis singkat kemudian pergi. Kata-kata tante Lilis benar-benar menusuk jantung gua dan itu sangat sakit. Gua bertemu dengan dokter yang semalam di loby rumah sakit. Dengan wajah pucat gua menanyakan dimana Rika dipindahkan. Kalian tau apa yang dokter itu bilang
"Keajaiban, pasien itu berhasil selamat" Jawaban dokter itu seolah-olah membuat gua hidup kembali. Apa ini? Apa ini benar? Dia tidak bercandakan? Gua langsung berlari ke kamar yang diberitahukan dokter barusan. Semua orang di rumah sakit melihat gua berlarian. Sampai di depan kamar tersebut, dari jendela. Orang itu, orang yang gua sayangi itu dia hidup kembali. Gua tertegun di luar kamar melihatnya. Ia duduk di kasur putih dengan perban di kepalanya. Gua menarik nafas dalam-dalam menghembusnya dan berusaha tenang. Gua membuka pintu kamarnya. Rika melihat gua. Tidak ada kata, gua menggeser bangku dan duduk di sebelahnya. Beberapa saat kami hanya terdiam. Gua hanya menunduk tidak melihatnya. Kami saling diam cukup lama sampai akhirnya gua bicara.
"Hari ini, gua udah gak mendengar apa-apa lagi di kepala gua. Itu artinya gua udah benar-benar gak berguna lagi buat lokan?"
"Rav-"
"Gua udah tau siapa nyokap gua." Kata gua memotong perkataan Rika. "Bukan Cuma nyokap, gua juga udah tau siapa bokap asli gua. Mereka semua udah meninggal. Dan pembunuhnya" Gua menatap Rika sambil tersenyum "Papah guakan?" Rika meneteskan air mata. "Nama gua juga bukan Ravindra, Nama gua Reza iyakan?"
"Berhenti Ravindra"
"Gua pikir, tau semua kenyataan itu adalah bagian terburuknya. Tapi lo tau gak yang lebih buruk dari semua hal itu." Rika memegang tangan gua. "Melihat lo mati dengan mata kepala gua sendiri. Itu adalah hal paling buruk yang pernah terjadi dalam hidup gua. Keputusan lo dijembatan tepat."
"Ravindra,"
"Kalau kita terus bersama salah satu diantara kita pasti celaka Rika." Kata gua melepas genggamannya. "Semenjak lo datang semuanya jadi begini, semenjak lo ada kehidupan gua yang cukup sempurna sebelumnya rusak. Benar kata lo, seharusnya kita emang gak usah saling kenal. Maka dari itu, Gua mohon, gua mohon sama lo Rika." Ada jeda "Jangan masuk ke kehidupan gua lagi ya, pergi. Gua mohon dengan sangat Rika." Kata gua dengan tulus menatap dalam matanya.
"Hari ini, mulai hari ini. Hapus gua dari ingatan lo jangan pernah sebut, panggil, telfon atau hubungi gua lagi. Karena gua juga akan ngelakuin itu. Kita akhirin semuanya termasuk takdir yang mengerikan ini." Rika menatap kebawah. Matanya yang terus berlinang air mata membuat gua tak tahan melihatnya. Gua menggeser bangku berwarna putih tadi berbalik badan dan beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)
Teen Fiction"Kamu jangan mengikutiku pulang! Nanti kamu akan mati!" kata Rika di hari pertama mereka bicara. Anak baru itu mengaku kalau ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain, salah satunya kematian. Sejak hari itu, kehidupan sempurn...