2 minggu berlalu, hari ini adalah hari wisuda. Kami yang lelaki memakai jass sedangakan perempuan kebaya. Di aula sekolah, Pak Slamet dengan bangga meneriakan kalau anak kelas 3 tahun ini lulus 100%. Rika sebagai murid dengan nilai terbaik diminta naik keatas panggung untuk membacakan pidato. Dia terlihat begitu ceria membacakan pidato tersebut. Semua orang bertepuk tangan setelah Rika selesai membacakan pidatonya.
"Bi Rose" Panggil gua di depan pintu gerbang.
"Iya den"
"Hari ini Bi Rose cantik banget" Gua memuji kebaya yang di pakai Bi Rose.
"Si den bisa aja hehehhe"
"Mulai sekarang jangan manggil Ravindra den ya bi. Panggil Ravindra aja" Kata gua tersenyum. "Dan terima kasih ya bi, selama ini udah jadi ibu buat Ravindra" Bi Rose tersenyum gua memeluknya dan membiarkan dia masuk kedalam mobil Kang Dadang.
"Si den gak ikut?" Tanya Kang Dadang
"Engga kang, duluan aja yah" Kata gua kemudian mereka pergi. Ketika gua berbalik badan. Rika, dia persis didepan gua. Dia cantik dengan kebaya merahnya. Mata kami tak sengaja bertemu. Dia menatap gua lalu tersenyum. Gua menganggapinya dingin membuang wajah. Kami berdua bersama berjalan berlawanan seolah tak saling kenal dia keluar dan gua kedalam, kami berlalu begitu saja.
"Selamat tinggal" Bisik Rika pelan ketika bahu kami hampir bersentuhan gua samar mendengarnya.
***
Gua terlentang di pohon belakang sekolah. Ini adalah hari terakhir gua melihat pohon besar ini. Rasanya ingin berlama-lama. Banyak kenangan terjadi di pohon ini. Memunguti sampah, bicara soal kontrak bodoh dan hal lainnya.
"Ravindra!" Panggil Sadat, dia lari tergesa-gesa menghampiri gua bersama Cha-cha. Gua gak mengorangkannya hanya menatap pohon. Dia menarik gua bangun. Gua masih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Dra, sebenernya ada apasih? Ada apa lo sama Rika?" Tanya Sadat gua hanya diam. "Dra, jawab kok lo malah diamsi!? Sebenarnya apa yang terjadi waktu itu? Dra!"
"Berisik!" Ketus gua. Tiduran kembali.
"Dra, lo tau. Rika dan ibunya mau pergi. Mereka gak akan tinggal disini lagi. Tadi dia pamitan sama kami semua tapi dia gak bilang pengen kemana." Tambah Cha-cha. Gua berbalik memunggungi mereka.
"Dra lo tau, lo kaya anak kecil tau gak!!" Seru Sadat. "Gua gak tau apa yang terjadi diantara kalian berdua tapi yang jelas, lo pasti bakal nyeselin ini seumur hidup lo"
"BERISIK! BERISIK! BERISIK!!!!! Lo berdua berisik!! Kalian itu gak tau apa-apa! Jadi jangan berisik!" Sadat terlihat sangat kesal. Tiba-tiba ia menarik kerah gua dan memukul gua sampai terjatuh.
"AH!" Teriak Cha-cha
Gua bangun meludah darah, melihatnya gua begitu kesal.
"Kenapa? Kesel? balas ayo balas!!!"
"ANJING!!!" Seru gua membalas pukulan Sadat. Sadat juga membalasnya lagi dan kami berkelahi.
"Kalian berdua berhenti!!" Jerit Cha-cha ingin memisahkan namun tidak berhasil.
"Lo pikir dengan hapus Rika dari hidup lo semuanya bakal baik-baik aja ha!?"
"Berisik! Jangan bicara seakan lo tau semuanya!!!" Seru gua, pukulan gua menghantam wajahnya keras. Baju kami benar-benar compang camping karena perkelahian itu.
"Gua tau semuanya gua tau!!!!!" Teriak Sadat di depan wajah gua, dia memegang bahu gua begitu keras. "Lo mau tau gua tau dari mana?" Sadat mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya. I-itu buku Rika. Buku yang selalu di bawanya setiap saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)
Fiksi Remaja"Kamu jangan mengikutiku pulang! Nanti kamu akan mati!" kata Rika di hari pertama mereka bicara. Anak baru itu mengaku kalau ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain, salah satunya kematian. Sejak hari itu, kehidupan sempurn...