"Kita mau kemana pah?" Tanya gua di dalam mobil.
"Tempat favorit papah"
"Tempat apa?"
"Kamu liat saja nanti. Papah yakin kamu pasti suka." Kata-kata papah sukses membuat gua penasaran setengah mati. Setelah bermacet-macetan sepanjang perjalanan akhirnya kami sampai ke sebuah rumah. Tapi ini bukan rumah biasa, Ini rumah sakit. Namun kalau dilihat ini tetap tidak seperti rumah sakit.
"Ini rumah sakit?" Tanya gua.
"Iya, ayo kita masuk"
"Siapa yang sakit?"
"Ya tentu aja mereka yang terkena penyakit. Ayo masuk." Ajak papah kamipun masuk kedalam. Di dalam banyak orang dengan segala penyakit yang mereka derita mulai dari yang tidak bisa berjalan, tidak bisa bicara, tidak bisa melihat bahkan kankerpun ada disini. .
"Menurut kamu ini tempat apa?" Tanya papah membawa gua duduk di lobby rumah sakit.
"Kalau dari yang Ravindra lihat, ini seperti tempat penampungan?"
"Bisa di bilang begitu. Tapi kurang tepat, coba lagi."
"Apa ya, yah tentunya rumah sakit? Tapi tidak jugasih."
"Nama tempat ini Rumah Satu atap, tempat ini bisa di bilang rumah sakit karena ada banyak orang sakit di sini. Tapi lebih tepatnya tempat ini adalah rumah bagi orang sakit."
"Rumah bagi orang sakit?" Tanya gua.
"Begini, kamu lihat bapak tuna netra yang sedang duduk disana?" Tanya papah menunjuk bapak tuna netra yang duduk memegang tongkat.
"Iya aku lihat."
"Namanya pak Bagus. Dia buta ketika berumur 24 tahun. Dia hidup sendirian, gak punya keluarga, pekerjaan dan sedikit teman. Lalu Satu atap hadir untuk menjadi keluarga, teman sekaligus rekan kerja bagi pak Bagus. Jadi kalu kamu simpulin tempat ini apa?"
"Rumah bagi mereka yang sakit."
"Betul Ravindra. Disini gak hanya penderita cacat saja yang di tampung. Tapi penderita penyakit lainnya yang kesulitan biaya. Di tempat ini biayanya ditekan jauh berbeda dengan rumah sakit"
"Pasti yang punya tempat ini orang yang hebat ya pah."
"Kamu lagi muji papah?"
"Maksudnya?" ahh gua baru sadar. "Tunggu, jangan bilang papah yang punya tempat ini?"
"Itu pertanyaan sekaligus jawabannya." Gua gak tau ternyata gua punya seorang papah yang cukup hebat. "Kalau papah lagi pusing dengan kerjaan atau butuh liburan. Papah pasti ke tempat ini. Menolong orang yang membutuhkan, itu bakal kasih kamu energi positif yang bisa buat kamu bahagia." Kata papah tersenyum. Dia terlihat sangat senang membawa gua ke tempat ini.
"Fachry!" Panggil seseorang dari loby.
"Dani." Papah dan seseorang dengan berpakaian dokter ini bersalaman.
"Sudah lama?" Tanyanya.
"Engga, kita baru aja sampai." Jawab papah
"Kita?" Tanya pak dokter. Kemudian dia baru sadar ada gua disana. "I-ini?"
"Saya Ravindra pak" Kata gua mengenalkan diri. Mata dokter itu membesar seketika dan melihat ke papah. Kemudia papah mengangguk setelahnya.
"Ohh Ravindra, udah besar kamu ya. Nama saya Pak Dani saya Kepala Rumah Sakit disini."
"Dokter sebelumnya pernah ketemu saya?"
"Pernah waktu itu kamu masih kecil. Kamu pasti gak ingat"
"Iya, kebetulan saya gak bisa ingat apa-apa ketika saya masih kecil."
"Iya bapak tau kok." "Jadi ini anak yang waktu itu" Kata Pak Dani dalam pikirannya. Anak yang waktu itu? Apa maksudnya? Papah menjelaskan kalau dia bersama Pak Danilah yang membangun tempat ini beberapa tahun yang lalu. Kami bicara cukup banyak. Tadinya gua pikir Pak Dani orang yang cukup keras dari raut wajahnya. Tapi setelah kami bicara agak lama. Dia orang yang hangat.
"Kalau boleh tau, kenapa bapak ingin jadi dokter?" Tanya gua.
"Ceritanya agak panjang. Tapi mungkin bisa di bilang itu karena papah kamu." Kata Pak Dani menunjuk papah yang sedang ngobrol-ngobrol bersama anak-anak disabilitas di halaman.
"Karena papah?" Tanya gua. Sebenarnya ini bisa saja lebih mudah kalau gua membaca pikirannya. Tapi gua ingin mendengar ini langsung dari Pak Dani sendiri. Ia mengangguk sambil menyeruput segelas kopi hitam.
"Papah kamu dan Bapak dulu itu satu SMA. Kemudian pertemanan kami berlanjut di perkuliahan. Saat itu Bapak belum menentukan ingin mengambil jurusan apa. Lalu papah kamu mengajak bapak ke rumah sakit untuk jenguk ibunya. Yang bapak gak pernah tau ternyata ibu Fachry. Dia menderita leukemia. Penyakit yang menyarang sel darah putih. Gara-gara penyakit itu ibunya harus di rawat di rumah sakit. Waktu itu Fachry belum sesukses sekarang. Dia masih bocah remaja yang gak punya apa-apa. Ditambah ayahnya meninggal ketika ia kecil. Jadi Fachry kerja mati-matian sana sini untuk biaya rumah sakit ibunya. Dan hari itu, bapak gak pernah lupa sedikitpun tentang hari itu. Fachry dengan wajah gembira dan bunga di tangannya, seketika jatuh terduduk lemas. Ibunya ditemukan meninggal. Bukan karena penyakit yang ia derita. Tapi bunuh diri dengan cara mensayat nadi di tangannya."
Air mata tiba-tiba jatuh begitu saja di pipi gua.
"Kemudian dokter yang mengurus ibunya, memberikan sepucuk surat. Surat itu ditemukan di meja ibunya. Tertulis untuk Fachry.
-Maafin ibu yang bisanya cuma ngerepotin kamu nak, maafin ibu yang hanya menjadi beban buat kamu dan maafin ibu, gak bisa terus sama kamu. Lambat laun, nanti ibu akan pergi juga. Makanya ibu memilih pergi dahulu agar kamu bisa hidup dengan tenang. Jangan lupa makan. Ibu cinta sama kamu lebih dari apapun, sayangaku Fachry Muchtar. Ibu pamit."
Hati gua begitu sesak mendengar cerita Pak Dani tentang papah. Gua gak tau ada hal seperti ini dari orang yang terlihat sangat dingin itu.
"Lalu setelah itu apa yang terjadi?" Tanya gua.
"Setelah membaca itu, Fachry menggila. Dia berteriak gak karuan di rumah sakit. Membuat rumah sakit chaos saat itu. Dia menyalahkan semua orang mulai dari dokter, suster, bagian administrasi dan siapapun yang ada di rumah sakit. Akhirnya security membawanya keluar. Seumur hidup bapak berteman dengan Fachry itu adalah pertama kalinya bapak melihat Fachry menangis. Di depan pintu rumah sakit, ia duduk menyalahkan dirinya berkali-kali."
"Ini salah gua, ini salah gua, ini salah gua, ini salah gua" Kata Fachry duduk di tangga sambil menangis. Pak Dani yang berdiri di depan pintu menyeka air mata yang turun tanpa ia sadari. Dia datang merangkul temannya yang hancur.
"Fachry, ini bukan salah lo. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini memang udah kehendak tuhan Fachry, gak ada yang bisa nyalahin kehendak tuhan."
"Engga Dan. Ini gak akan terjadi kalau gua kaya! Ini gak bakal terjadi kalau rumah sakit gak mendesak ibu gua buat bayar biaya rumah sakit.
"Kalau gitu kita harus balas dendam!" Kata Pak Dani Kita harus bikin rumah sakit, dimana orang-orang gak harus mati karna masalah biaya. Dan gua, gua yang akan jadi dokternya." Perkataan Pak Dani itu membuat papah punya tujuan untuk hidup kembali.
"Setelah sumpah yang kita buat di depan rumah sakit itu. Akhirnya Bapak dan papah kamu tau apa yang harus kami lakukan untuk hidup kami." Ada jeda. "Kamu baru pertama kali dengar cerita ini?" Mendengar pertanyaan itu gua mengangguk. Gua gak pernah sangka orang yang sedang bermain dengan anak-anak disabilitas di depan sana itu adalah orang hebat, orang yang mulia dan dia adalah papah. Dia adalah papah gua. Pah, Ravindra bangga jadi anak papah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Takdir Seperti Permen Karet (ON GOING)
Teen Fiction"Kamu jangan mengikutiku pulang! Nanti kamu akan mati!" kata Rika di hari pertama mereka bicara. Anak baru itu mengaku kalau ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain, salah satunya kematian. Sejak hari itu, kehidupan sempurn...