11. Es (krim) batu

1.4K 63 0
                                    

Setelah hampir kecelakaan kami sampai juga di Rumah sakit. Beruntung tidak terjadi hal yang tidak diinginkan saat aku menyetir tadi.

Aku segera memanggil petugas untuk membawa Pak Kemal yang sudah pingsan di sana. Ya, niat awal untuk memeriksa jantungku malah beralih dengan Pak Kemal yang pingsan dengan keadaan mengenaskan. Tubuh dan wajahnya memerah dengan beberapa bintik kemerahan.

Aku duduk di samping brankar yang kini diisi oleh manusia yang hampir membuat kecelakaan lalu lintas sore tadi.

Dan karena dia pingsan, aku harus duduk termenung sendirian di ruangan ini selama setengah jam. Dan setengah jam berikutnya ia baru sadarkan diri dengan mata yang masih sedikit memerah.

"Maaf, Jule ga tau kalau donatnya pake kentang. Harusnya tadi Jule nanya dulu."

Dia yang sedari diam mulai mengangkat bibirnya membentuk sabit. "Saya yang minta maaf karena bikin kamu cemas."

"Bapak ga marah sama Jule?"
"Ga, terima kasih sudah nolong saya. Kalau ngga ada kamu, saya ga tau apa yang akan terjadi."

"Maksud Bapak, Jule jadi janda? Astaghfirullah, mulutku," gerutuku yang dibalas kekehannya.

Baru kali ini aku melihatnya memperlihatkan senyum dan tawanya padaku, biasanya ia bagaikan kulkas dua pintu.

"Bapak udah sesembuh itu sampai bisa ketawain Jule? Udah ga gatel lagi?" sindirku.

"Kamu nyindir saya?" tanyanya dengan satu alisnya terangkat. "Katanya tadi kamu ngga enak badan? Ga mau periksa sekalian mumpung di sini?"

"Engga, udah enakan kok," jawabku agak bingung, pasalnya yang tidak enak bukan badanku, tapi jantungku.

"Oh ya Pak, Jule boleh nanya sesuatu?"

"Apa?"

"Bapak seminggu kemarin ke mana? Bapak marah karena Jule usir dari rumah sendiri?" tanyaku serius kali ini.

"Ga," jawabnya singkat. "Kamu kira saya anak kecil? Saya kemarin ada urusan di luar kota, maaf sekali lagi. Pasti seminggu kemarin kamu susah tidur ya karena ga ada gulingnya?" lanjutnya kini giliran menyindirku. Kali ini bukan hanya malu karena kejadian itu, tapi sekarang pipiku sepertinya sudah seperti kepiting rebus karena malu.

Tunggu, berapa kata ia sebutkan tadi 20 lebih kata? Apa es batu di depanku kini sedikir mencair? Atau memang sebenarnya dia bukan tipe manusia kulkas dua pintu?

"Kenapa mukanya merah? Malu?" tanyanya lagi dengan nada menyebalkan.

"Jule mau ke Kantin dulu, haus," pamitku beranjak dari dudukku.

"Siapa yang izinin kamu pergi?" Aku mengerutkan kening, "Kita pulang aja ya? Udah boleh pulang kan?" pintanya.

"Tapi Bapak udah sehat beneran? Ngga nunggu besok aja?" Bukannya aku menolak dia untuk pulang. Tapi aku tak begitu berani mengemudi di malam hari dengan mataku yang minus ini.

"Kenapa? Kamu takut saya tagih makalah kalau saya sembuh? Tenang saja, kamu bisa kumpulkan besok kalau saya di kelas kamu." Lagi sakit juga masih inget makalah. Beruntung kemarin aku sudah selesai dengan makalah itu.

"Bapak sakit aja nyebelin loh," ucapku menatapnya sebal.

"Ya sudah," dia turun dari ranjang dan Membawa cairan infusnya menuju sofa. "Kamu tidur di situ, biar saya di sini kalau kamu ga mau pulang."

"Kan Bapak yang sakit, harusnya Bapak yang tidur di ranjang," tolakku.

"Tidur atau kita pulang?"

***

My Coldest DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang