27. Dia dari masa lalu

743 49 3
                                    

Jangan lupa bersyukur ☘️
.
.
.

"Maaf ya, ngerepotin kalian."

"Iya ngga pa-pa, Kak. Kita seneng kok bisa bantu kakak," timpal Kay yang masih sibuk dengan balon di tangannya.

"Selesai," ucap kami hampir bersamaan.

Aku menatap pemandangan di hadapanku. Cantik, satu kata yang menggambarkan kerja keras kami bertiga. Aku, Kay dan kak Dimas.

Kemarin sebelum liburan akhir semester kak Dimas sempat meminta waktu kami untuk ikut membantu menyiapkan kejutan ulang tahun pernikahan orang tuanya.

"Oh iya, sekitar setengah jam lagi papa dan mamaku pulang dari kantor. Sambil nunggu adikku pulang bawa kuenya, kalian makan dulu ya? Aku tadi udah minta mbok Yasni masak, jadi ngga boleh nolak," jelas Kak Dimas yang kami angguki.

"Kalian udah izin sampai sore 'kan?" tanya Kak Dimas.

"Aku udah izin, cuma tadi katanya jam 7 harus pulang, dijemput soalnya. Maaf ngga bisa bantu bersih-bersih."

Kak Dimas tersenyum.

"Ngga pa-pa, kalian udah bantu siapin aku makasih banget."

"Emm, Kak Dimas maaf, aku ikut pulang Jule nanti ngga pa-pa? Aku udah janji pulang bareng Jule sama ayah tadi," tanya Kay tak enak.

Kak Dimas mengangguk.

"Iya, padahal aku selalu siap kalau kamu minta anter, tapi ngga pa-pa deh, aku suka cewek yang penurut," ucapnya diakhiri senyum.

Bukan, mereka bukan pacaran. Lebih tepatnya pdktan. Walaupun kita bersahabat 5 bulan lamanya, tapi tampaknya keduanya sudah sangat dekat dan tumbuh rasa di salah satu entah keduanya.

Beberapa waktu lalu Kay pernah meminta pendapatku jika seandainya kak Dimas mengajaknya pacaran. Tapi aku hanya bilang untuk meminta izin ayahnya, bagaimanapun ayahnya orang yang paling berhak atas dia.

"Aku jomblo diam," ucapku menatap mereka bergantian.

"Makanya, buruan minta Pak Kemal nikahin daripada ribut mulu di kampus," ucap Kay gemas.

Dia tidak tahu saja aku dan Pak Kemal sudah menikah setengah tahun lamanya. Walaupun kita sering debat karena diriku yang akhir-akhir ini sering ke kamar mandi sebelum kelas dimulai.

Tunggu, aku teringat sesuatu. Sebelum berangkat tadi, Pak Kemal mengatakan akan menjemputku sebelum jam 8 malam. Itu artinya,

"Kamu beneran bareng aku Kay?" tanyaku memastikan setelah kak Dimas pergi mengambil pesanan kadonya.

"Iya, bolehkan?" tanyanya polos.

Gimana kalau aku tolak, bisa-bisa kak Dimas ketakutan karena kena semprot ayah Kay karena kejadian beberapa bulan lalu. Ya, kak Dimas sebelumnya pernah mengantar Kay pulang, tapi terlambat 30 menit karena terjebak macet di jalan. Dan berakhir kak Dimas diceramahi ala-ala calon TNI yang melakukan kesalahan di lapangan.

"Eh iya, aku ambil makanan kita dulu ya? Nanti kak Dimas nanyain lagi ngga enak kalau ngga dimakan," katanya sebelum berjalan menuju pintu belakang rumah kak Dimas.

Aku mengeluarkan ponselku. Mencari nomor pria yang sangat suka membuatku jantungan akhir-akhir ini.

"Assalamualaikum, Mas," ucapku setelah telepon tersambung.

"Wa'alaikumussalam, iya? Udah selesai acaranya?" tanyanya di seberang sana.

"Belum ... emm, Jule mau ngomong. Nanti, Kay minta bareng soalnya udah janji sama ayah Utsman, jadi–" belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku ponselku tiba-tiba mati. Aku lupa mengecasnya tadi siang.

My Coldest DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang