"Oh, jadi iniii yang namanya suka disebut-sebut sama anak Mama."
Seumur hidupnya, Ines belum pernah segugup ini dihadapan orangtuanya. Bahkan ketika nilainya jelek pun Ines masih bisa percaya diri dengan dalih—namanya juga proses belajar—nah berbeda dengan hari ini dimana Ines seharusnya bertemu dengan ibunya Ghandi tetapi keadaan malah berbalik dan sekarang Ghandi lah yang bertemu dengan Ibunya. Hadeuh, semua ini gara-gara Ines terlalu lama mengikat tali sepatunya sehingga Ghandi yang menunggu di luar rumahnya tak sengaja berpapasan dengan Ibunya yang baru pulang berjalan-jalan pagi dengan ayahnya. Wah, tidak terduga sekali memang.
"Halo Tante," sapa Ghandi. Jujur, ia sendiri kebingungan dengan situasi tidak terduga ini. Masalahnya, Ghandi tidak mempersiapkan apapun hari ini. Ia datang dengan tangan kosong karena niatnya juga menjemput Ines saja.
Begini loh, skenario dalam kepalanya adalah, Ghandi menjemput Ines untuk bertemu dengan Ibunya, kemudian ia akan meminta Ines untuk mempertemukannya dengan orangtua Ines, nah... kenapa urutannya malah kacau begini?
"Maaf Om, Tante. Saya nggak bawa apa-apa, niatnya mau jemput Ines buat ketemu Ibu," ucapnya kikuk.
Mayang—ibunya Ines menatap Ghandi dengan matanya yang berbinar, "Mau dibawa ketemu Ibu? Wah, udah mantep ya sama Ines?"
Mendengar ucapan Ibunya, Ines mendekat dan berbisik, "Mama ih. Mantep apanya coba."
"Masuk dulu saja. Kita ngobrol di dalam," sambar Budi—ayah Ines.
O-ow. Apakah Ghandi akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis dari ayahnya Ines untuk screening menjadi calon mantu? Sebentar. Apa yang dia pikirkan? Calon mantu?
Ghandiii. Benar-benar.
****
"Aduk yang bener," kata Ega begitu masuk ke dapur dan melihat Ines mengaduk minuman tak karuan karena tangannya sibuk mengaduk sementara matanya sibuk mengintip ke ruang tamu dimana Ghandi sedang berbincang-bincang dengan ayahnya.
"Aduh Kak. Mereka ngomongin apa ya?" tanyanya.
Ega mengedikkan bahu, "Ya pertanyaan default aja palingan juga Nes. Kamu kerja dimana, gaji berapa, dapet tunjangan apa aja, kalau lembur benefitnya apa, kalau dipecat pesangonnya berapa," jawabnya.
Ines melirik kakaknya dengan tajam, "Apaan. Emangnya Papa tuh aku, HRD. Kan bukan."
"Ya emang HRD kok Nes. Human Resource Daughter," kekehnya.
Sendok yang dipakai Ines untuk mengaduk minumannya melayang dan mendarat tepat di kening Ega hingga membuat pria itu berteriak, "Nggak usah mukul jugaaa!"
****
Budi yang mendengar teriakan anak laki-lakinya tertawa, "Akhir-akhir ini kakaknya sering banget ribut sama Ines," katanya.
Ghandi yang sempat teralihkan dengan suara itu kembali fokus pada Budi, "Saya juga begitu sih Om sama adik saya, terlebih waktu dia punya pacar. Rasanya takut aja kalau adek saya direbut," sahutnya.
Budi menunjuk foto yang berada di meja ruang tamu, foto ulangtahun Ines dengan kedua kakak laki-lakinya yang memeluknya dengan hangat, "Waktu Ines lahir, kedua kakaknya ini seneng banget. Karena mereka laki-laki, mereka jadi merasa punya tanggung jawab yang besar. Saya salut sekali, mereka selalu mendahulukan Ines dibanding diri mereka sendiri. Mereka juga mengusahakan banyak hal untuk Ines. Kalau kata Ghofar, dia akan memberikan semua yang terbaik dalam hidupnya buat Ines, bukan buat dirinya sendiri. Karena dia udah muak katanya ngurusin Ega, punya adek cowok tidak menyenangkan, hahahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Impian
RomansaSetiap orang pasti punya pernikahan impian bukan? Bandung, 31 Maret 2020 Bismillah. Mulai nulis lagi. Semangat! Harus selesai! Harus konsisten! Kupukupukecil