PART 15 - Me After You

3.2K 462 41
                                    

I was so happy after meeting you

 I was able to love you so much, Because you embraced and understood, My young and Immature mind Warmly. 

(Paul Kim – Me After You)

-

-

-

"Sayang, sini deh."

Gandhi menarik tangan Ines dan memintanya untuk mendekat, duduk bersamanya di atas kursi yang berada di kamarnya. Niat Ines masuk ke kamar Gandhi adalah untuk menyusul Gandhi yang mendadak lama sekali siap-siapnya sementara ia sendirian karena Ibu Gandhi baru saja pergi ke pengajian, tapi ternyata ketika disusul, Gandhi sudah siap, bukannya pergi, ia malah menahan Ines bersamanya. Pria itu terlihat antusias. Ia meraih laptopnya lalu membuka dan menyalakannya. Bahkan ketika menunggu laptopnya menyala pun Gandhi masih terlihat antusias sehingga membuat Ines kebingungan dibuatnya. Kira-kira Gandhi mau menunjukkan apa?

"Taraaa," soraknya seraya membuka sebuah file yang sekarang menunjukkan desain sebuah rumah.

Tunggu dulu.

Rumah?

"Ini rumah siapa?" kata Ines.

Gandhi mengalungkan tangannya di bahu Ines. Ia bahkan sempat mencuri ciuman di pipi kekasihnya, "Rumah kita dong," sahutnya.

"Kita? Aku sama kamu?" tanya Ines memastikan.

Gandhi mengangguk.

"Desain rumah kan susah ya Nes, ke arsitek lumayan juga, jadi dua minggu ini aku menjalani pembelajaran insentif, ceritanya biar bisa desain rumah. Memang nggak sebagus arsitek-arsitek lain sih, tapi boleh diadu lah, kata Andri segini udah oke. Menurut kamu gimana?"

"Gan..." Ines menatap layar laptop kemudian menatap Gandhi dengan haru. Ia nyaris tak bisa berkata-kata.

"Nih ya, aku pilih rumah kita hadap utara, jadi nanti di teras bakalan kesorot sama sinar matahari, pagi-pagi kan sehat Nes. Tapi supaya gak nyorot banget, aku buat kanopi juga, supaya cahayanya nggak ganggu. Terus buat tingginya, plafon aku bikin setinggi dua koma tujuh meter aja, karena kalau ruang sempit tapi plafonnya tinggi tuh nantinya jadi masalah sih, ini kata Andri. Penting soalnya, kalau bersihin debu lagit-lagit juga kan bakal susah Nes ketika plafonnya tinggi banget, belum lagi penempatan furnitur yang bakal mempengaruhi ruangan juga. Makanya setelah banyak baca dan cari tahu, aku buat yang sederhana aja. Cat nya udah jelas biru dong, sesuai yang kita mau. Buat desain nya gimana Nes? Kamu suka nggak?"

Suka atau tidak suka bukan masalah karena Ines sendiri menyukai apapun yang berasal dari Gandhi, apalagi buatan Gandhi. Ia benar-benar percaya bahwa ketika Gandhi mengerahkan usaha terbaiknya, maka ia bisa membuat semuanya mendekati sempurna. Tentu saja tidak sampai sempurna karena kesempurnaan milik Tuhan.

Gadis itu menatap Gandhi dengan matanya yang berkaca-kaca. Jika sebelumnya Gandhi terlihat menyebalkan, hari ini pria itu terlihat sangat hebat di mata Ines. Rasanya bahkan jauh lebih luar biasa dibandingkan ketika Gandhi melamarnya—masa bodoh dengan lamaran resmi karena Ines sudah menganggap Gandhi melamarnya dan tujuan mereka kedepannya sama.

"Kamu kok bisa kepikiran hal kayak begini sih Gan," katanya.

Gandhi terkekeh, ekspresi kebanggaan dapat terlihat dengan jelas dari wajahnya.

"Kan aku memang serius, takut aja kamu mikirnya aku main-main."

"Mana ada sih Gan, aku anggap kamu main-main. Bukannya dari awal juga aku anggap kamu serius ya?"

Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang