15

21.2K 1.8K 145
                                    

Haechan menuangkan cairan pudding yang sudah mendidih ke dalam cetakan besar. Selanjutnya ia memasukkan beberapa potongan buah berry serta mangga. Ia bertepuk tangan saat pudding yang ia buat telah selesai. Hanya menunggu dingin dan mengeras.

Tak jauh dari meja makan, Jaemin duduk sembari memperhatikan Haechan. Ia tidak pandai dengan urusan dapur. Jadi lebih baik diam sembari meminum sekaleng root beer yang ia curi dari lemari pendingin milik Mark.

Jaemin meringis kala Haechan menggigit sebuah strawberry utuh. Kenapa orang-orang bisa memakan buah berwarna merah dan berbintik itu? Padahal rasanya sangat aneh!

"Jaemin-ah, kau mau?" tawar Haechan sembari menodongkan keranjang berisikan berbagai macam buah berry.

"Oho! Tidak, terimakasih. Aku tidak menyukainya."

"Ah mian, aku tidak tahu. Atau kau ingin mangga? Atau buah yang lainnya? Akan aku kupaskan,"

Jaemin mengangkat bahunya acuh, "Aniya. Aku tidak terlalu menyukai buah. Tapi aku menyukai pisang Jeno."

Pipi Haechan bersemu merah. Ia tahu dan ia paham Jaemin senang asal berbicara, namun tetap saja Haechan yang mendengarnya cukup malu.

"Ku dengar si idiot itu kehilangan ponselnya. Benarkah?" tanya Jaemin.

"Dia juga memiliki nama, Jaem."

"Ya ya ya. Maksudku Tuan muda Mark Jung." Jaemin berucap dengan senyuman manisnya. Tapi setelahnya wajahnya kembali datar.

"Aku tidak tahu soal itu," gumam Haechan. Benar, ia tidak tahu menahu soal Mark. Mereka jarang berkomunikasi melalui ponsel.

"Aku pikir kau tahu. Kemarin Jeno berkata padaku kalau Mark menghubunginya melalui email." tutur Jaemin.

"Ah~ begitu. Aku tidak mengetahuinya." lirih Haechan. Ia terdiam sejenak. Namun ia kembali tersadar dan melepas apron ia kenakan.

"Jaemin-ah, apakah kita jadi pergi?"

"Tentu saja! Aku menunggumu hampir satu jam lamanya." Haechan terkekeh pelan lalu pergi berbenah diri.

Kini mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan terbesar di Seoul. Jujur, baru kali ini Haechan menginjakkan kakinya di bangunan super mewah ini. Matanya mengedar ke seluruh objek yang bisa ia jangkau. Haechan yakin, barang-barang disini sama mahalnya dengan barang yang Mark berikan padanya.

Jaemin menarik tangan Haechan supaya mengikuti langkah gadis itu. Dari satu toko ke toko lainnya. Seolah kaki Jaemin sudah kebal dengan rasa pegal. Padahal gadis itu menggunakan heels yang kira-kira setinggi 9cm. Berbeda dengan Haechan yang mengambil jalan aman yaitu menggunakan sepatu flat.

Jaemin membeli banyak sekali pakaian, tas, dan sepatu. Ini ketiga kalinya ia menghubungi pelayannya untuk mengambil barang-barang yang ia beli dan membawanya ke rumah.

"Kau sungguh tidak ingin membeli apapun?" tanya Jaemin yang tengah mengamati sebuah gaun berwarna maroon.

Haechan menggeleng, "Tidak."

"Astaga Lee Haechan?! Kau benar-benar tidak tergiur dengan ini semua?" Jaemin memutar telunjuknya. Dan lagi-lagi Haechan menggeleng dengan tatapan polosnya.

"Pilihlah sesukamu,"

"Ti—

Haechan membungkam mulutnya saat melihat Jaemin yang menatap sinis kepadanya. Gadis itu tidak menerima penolakan dari Haechan.

"Baiklah." pasrah Haechan.

Mereka berdua berpencar. Jaemin berada di bagian gaun pesta sementara Haechan di bagian dress. Ingin rasanya Haechan membeli semua dress karena desainnya yang sederhana namun cantik dan indah. Tapi, tentu saja mustahil. Hanya bisa di khayalannya.

Vad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang