0.4 BAD DAY

1.4K 183 19
                                    

Eleana menutup pintu kamarnya dengan keras dan langsung menguncinya. Tubuhnya meluruh begitu saja ke lantai.

Kenapa sekarang mereka semua malah tinggal di rumahnya? Apa mereka semua tidak punya rumah sendiri untuk ditinggali? Lalu kenapa sepupu dari keluarga barunya malah ikut tinggal? Eleana tidak habis pikir. Belum genap sehari menikah, tapi mereka sudah melakukan hal yang seenaknya. Apalagi jika mereka tinggal lama, apa lagi yang akan mereka ambil dari Eleana?

Kenapa ayah gak nanya pendapat aku? Aku juga tinggal di rumah ini, ini kenang-kenangan tempat bunda. Kenapa ayah dengan seenaknya ngebuat mereka tinggal di sini? Aku gak mau rumah ini tercemar karena mereka.

Eleana menatap ponselnya yang sepi. Bangchan, lelaki itu belum memberinya kabar. Ingin sekali Eleana memaki lelaki itu, tapi apa daya, dirinya tidak mampu berbuat apapun saat ini.

Jiwa dan raganya terlalu lelah. Lelah menghadapi hidup yang menurutnya tidak adil.

Aku butuh kamu, Kak ....

Eleana keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri, perempuan itu butuh menghirup udara bebas.

"El." Panggil Mahardika, membuat Eleana menghentikan langkahnya dan menatap ayahnya itu.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ketemu Kak Bangchan, sebentar aja."

"Kamu gak akan makan malem dulu? Tante udah buatin makanan kesukaan kamu," ucap Tiara sambil menghampiri Eleana, tetapi gadis itu malah memundurkan langkahnya.

"Aku gak laper."

"El, Tante Tiara udah masakin makanan buat kamu, seengganya kamu harus ngehargain itu. Ayah gak pernah ngajarin kamu buat gak sopan sama orangtua."

Eleana menatap dalam mata ayahnya. "Dont make me wanna get out of here."

"Mas udah, jangan dipaksa. Kalau Elea emang gak laper, gak pa-pa, itu normal, dia 'kan bisa makan nanti," ucap Tiara yang menenangkan Mahardika, sebelum lelaki tua itu memancing emosi Elena lebih parah lagi.

"Sekarang, saya Kakak kamu. Saya gak ngijinin kamu pergi keluar," celetuk Taeyong, membuat Eleana mengangkat sebelah alisnya.

"Jangan bikin aku ngomong beberapa kali, dari awal aku udah bilang, tante Tiara sama ayah boleh nikah, tapi kalian jangan ikut campur masalah pribadi aku. Aku gak suka orang luar ikut campur sama masalah aku."

Suasana di rumah itu sudah menegang, para sepupu yang lain hanya bisa melihat kejadian itu dalam diam. Mereka tidak berhak ikut campur atas keluarga inti yang sedang bersitegang itu.

"Eleana!" Mahardika membentak anak semata wayangnya itu, membuat yang lain terkejut.

Namun, bukan Elana namanya jika akan lemah hanya karena itu.

"Mas, udah. Gak baik bentak anak sendiri, kita bisa omongin ini semua baik-baik."

"Now, i ask. Ayah pilih aku, atau mereka?" tanya Eleana dengan mutlak, membuat semuanya terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba keluar dengan mulus dari bibir indah Eleana.

"Kamu jangan aneh-aneh. Ayah gak bisa milih kamu atau mereka. Kamu anak Ayah, putri Ayah, tapi sekarang mereka juga anak Ayah, tanggung jawab Ayah," jawab Mahardika dengan hati-hati.

Eleana tersenyum singkat sambil menganggukkan kepalanya. "Kalau Ayah gak bisa jawab, tolong jangan bikin aku ngajuin pertanyaan itu lagi. Aku udah bersusah payah relain ngeliat Ayah bersanding sama perempuan lain selain bunda, sekarang jangan bikin aku buat pergi nyusul bunda."

"Maksud kamu apa? Jangan ngomong yang aneh-aneh!" Mahardika memegang kedua bahu Eleana.

"Selama ini Ayah gak pernah tahu perasaan aku. Omongan Ayah dulu bener ... we're not okay ... im not fine. Selama tujuh tahun ini Ayah gak tahu perasaan aku yang sebenernya. Selama ini aku cuma mau ngeliatin kalau aku anak baik meskipun hanya dengan satu orangtua, aku cuma mau Ayah terlihat baik di depan banyak orang meskipun Ayah selalu sibuk."

WALLFLOWERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang