Chapter 4 : Bunuh atau Mati

15.3K 1.9K 77
                                    

Zefania meneguk ludah setelah mendengar bisikan Ellendis. Dia sudah tahu akhirnya akan begini. Bunuh atau dia yang mati. Hanya itu pilihannya.

Kemudian, Ellendis mengeluarkan sebuah belati dan menyerahkannya ke Zefania. “Lakukanlah.”

Zefania menerima belati dari Ellendis dengan gemetar. Dia memandangi belati dan lima orang yang kini sedang menatapnya penuh harap secara bergantian.

Rasa manusiawi Zefania perlahan sudah menghilang sejak ia mulai mengalami depresi. Dia tidak pernah peduli lagi dengan lingkungan sekitar. Namun, membunuh orang, tidak pernah terpikirkan bahwa dia akan melakukannya.

Dengan tangan yang gemetar dan ketakutan yang menguasai pikirannya, Zefania mengangkat belati dan mengarahkannya ke salah satu orang yang paling dekat dengannya.

Ayo tebas lehernya!

Bagaimana kalau kau menusuk jantungnya?

Bukankah akan menyenangkan melihat kepalanya berlubang?

Atau tusuk perutnya berkali-kali?

Tidak! Bagaimana kalau kau mengiris lehernya perlahan-lahan sampai dia mati?

Bisikan-bisikan yang muncul dalam pikiran Zefania membuat dirinya semakin lama semakin tidak bisa menahan lagi. Kepalanya pusing. Lebih baik dia menyelesaikannya secepat mungkin, lalu keluar dari tempat ini.

Zefania menatap mata sayu seseorang di depannya. Ia membidik sasarannya sembari meneguk ludahnya, gugup. Dia perlahan mengayunkan belatinya dan menutup matanya rapat-rapat.

Maafkan aku.

Crash!

Ciprat!

Tangan Zefania bergemetar hebat. Ia merasakan darah kental terciprat ke bagian tubuhnya serta pakaiannya. Nafasnya sesak. Jika saja Ellendis tahu seberapa kerasnya Zefania berusaha berjalan menuju ke target lain. Rasanya seperti berjalan membawa bola besi di kakinya, sangat berat.

Zefania melakukan hal yang sama seperti sebelumnya pada target-target selanjutnya. Menebas leher mereka tanpa melihat korbannya.

Bau anyir darah perlahan semakin menguat di udara. Setelah tebasan terakhir Zefania, dia langsung berlari menjauh dan memuntahkan semua isi perutnya.

Huek!

Zefania mengelap mulutnya dengan kasar. Ia membuang belati yang sudah berlumuran darah dan melihat tangannya yang gemetar serta bajunya yang sudah terciprat darah dimana-mana. Kepalanya tanpa sadar menoleh ke belakang dan menatap Ellendis.

Apa dia lulus? Atau inikah akhir hidupnya?

Ellendis yang menyadari tatapan Zefania hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia berjalan mendekati Zefania, lalu memandanginya dari atas sampai bawah tanpa ekspresi yang membuat perasaan Zefania semakin tidak tenang.

“Yah, pertunjukan yang cukup menarik.”

Ucapan Ellendis membuat Zefania berkedip tanpa sadar.

Apakah artinya dia lulus?

Ellendis mengulurkan tangannya. Dia mengangkat rahang Zefania, membuatnya mau tidak mau harus mendongak menatap mata hitam Ellendis yang sedalam lautan.

“Tidak sia-sia aku menghabiskan banyak uang untukmu.”

Ellendis melepas tangannya, lalu menepuk-nepuk pipi Zefania dengan pelan. “Pergilah ke kamarmu dan makan yang banyak.”

Zefania tidak bergeming. Pikirannya kalut. Bukankah sifat Ellendis terlalu plin-plan padanya? Kenapa mendadak jadi selembut itu?

Kemudian, Zefania tersadar saat dia merasakan uluran tangan Ellendis menyentuh lehernya. “Apa yang Anda laku—”

Crack!

Borgol yang melilit leher Zefania terlepas hanya dengan satu kali hentakan tangan Ellendis. Zefania mendongak, menatap Ellendis dengan perasaan campur aduk, yang membuatnya tiba-tiba sadar akan perbedaan tinggi antara keduanya. Ternyata Zefania hanya setinggi dada lelaki di hadapannya.

“Kau bisa pergi sekarang? Atau kau mau membantu mereka memberi makan anjing?” Ellendis membuyarkan lamunan Zefania. Ia menunjuk ke arah pengawal yang sedang sibuk mengangkat mayat dan membawanya pergi entah kemana.

Zefania menggeleng. “Saya akan pergi.”

Ia berjalan ke pintu keluar dengan ragu-ragu, diikuti tatapan Ellendis yang penuh dengan pengawasan. Dia takut jika saja Ellendis menikamnya dari belakang seperti kejadian di film-film.

Setelah sampai di pintu keluar dungeon, Zefania terjatuh. Dia menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala emosi yang sedari tadi ia pendam. Dia sangat takut, mual, dan pusing. Perasaan ngeri yang bercampur menjadi satu membuatnya merasa tidak karuan.

“Aku membunuh manusia,” gumamnya lirih.

Zefania shock. Beberapa kali dia mencoba berpikir dengan kepala dingin. Dia harus terbiasa. Jika tidak, dia akan menjadi gadis yang cepat mati karena terlalu lemah. Sia-sia saja Tuhan mengabulkan permohonannya.

Namun, sampai kapan dirinya harus bertahan?

***

Sudah satu jam berlalu semenjak Zefania berada di depan pintu dungeon. Tangisnya sudah berhenti, hanya tersisa matanya yang sedikit memerah.

Ellendis memerintahkannya untuk pergi ke kamar, hanya saja Zefania tidak tahu arah. Dia bahkan belum diberitahu letak kamarnya. Dia juga tidak mau kembali ke tempat gelap dan bau itu lagi. Jadi, pilihannya adalah tetap di sini sembari menunggu Ellendis keluar.

Zefania duduk di lantai sambil memandangi salju yang turun di balik tembok pembatas setinggi dua meter. Seumur hidupnya, mungkin ini pertama kalinya dia melihat salju. Di tempat tinggalnya dulu hanya ada musim kemarau dan penghujan, yang sedikit membosankan baginya. Namun, Zefania selalu suka jika hujan tiba.

Sama seperti saat melihat hujan yang turun, melihat keping salju yang berjatuhan membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Entah kenapa, melihat salju yang putih membawa kedamaian di hati Zefania di tengah-tengah pikirannya yang kalut.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Zefania tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Ellendis sedang menatapnya penuh tanda tanya. Zefania dengan cepat berdiri dan membungkuk. “Maafkan saya.”

Ellendis menghela nafasnya. Bukan waktu yang tepat baginya untuk emosi sekarang. Dia menatap Zefania. “Apa. yang. kau. lakukan?” ulangnya, kali ini penuh penekanan.

Zefania tersentak. Dia tanpa sadar menunduk. “Saya tidak tahu jalan menuju kamar saya, Yang Mulia.”

Suara helaan nafas terdengar memenuhi koridor yang sepi dan terpojok itu. Ellendis perlahan berjalan menjauhi dungeon tanpa memalingkan pandangannya. “Ikuti aku.”

Zefania kembali menegakkan kepalanya, lalu mengikuti Ellendis dengan terburu-buru. Langkahnya yang kecil tidak sebanding dengan Ellendis. Padahal, lelaki itu hanya berjalan santai seperti biasanya.

Tidak ada perbincangan di antara mereka selama berjalan. Sesekali pelayan atau penjaga membungkuk saat Ellendis lewat. Selama beberapa menit dalam keheningan, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu putih yang terlihat kontras di antara bangunan lainnya.

***

Flower in the Duke's MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang