Zefania berjalan dengan kakinya yang sedikit pincang. Jarak Paviliun Barat dengan tempatnya berada ternyata cukup jauh. Dia tidak menyangka ruang lingkup Duke Erghen ternyata lebih luas dari perkiraannya. Jalan yang semakin lama semakin susah untuk dilewati karena tumpukan salju juga membuat Zefania cepat lelah.
“Kata pelayan arahnya ke sini, 'kan?” gumamnya saat melihat sebuah lorong gerbang yang penuh dengan tanaman rambat.
Ia memandangi lorong di depannya cukup lama. Zefania penasaran ada apa di Paviliun Barat sampai-sampai Galan selalu melarangnya ke tempat itu.
Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya, mulai masuk dan menyusuri lorong pendek itu. Hembusan angin membuat Zefania menggigil untuk sesaat. Entah itu perasaannya saja atau kebetulan, dia merasa suhu di sana semakin dingin, berbeda dari biasanya.
Cahaya perlahan terlihat, tidak butuh waktu lama bagi Zefania untuk menyusuri lorong itu. Setelah dia melangkah keluar, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sebuah bangunan putih besar yang sedikit usang, seperti sudah lama tidak terawat. Zefania perlahan mendekati bangunan tua itu dengan terengah-engah.
“Inikah Paviliun Barat?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Rambut perak Zefania melambai, hembusan angin yang membawa butiran salju itu sudah lebih dari cukup membuatnya kedinginan. Ia sesekali merapatkan mantelnya agar sedikit lebih hangat, tapi rasanya sia-sia.
Suasana yang sunyi dan suara pohon cemara yang bergesekan membuatnya gentar. Tempat itu aneh. Firasat Zefania tidak baik kali ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah sampai di sana, Ellendis sama sekali tidak memberitahunya.
Untuk sesaat, Zefania ragu-ragu. Dia ingin secepatnya pergi dari tempat itu, tapi di sisi lain kakinya lemas. Dia sungguh kelelahan karena berjalan nyaris setengah jam hanya demi menuju Paviliun Barat. Karenanya, Zefania memutuskan untuk duduk sebentar di antara tumpukan salju. Dia tidak ingin berlama-lama, setelah beristirahat nanti, Zefania harus pergi dari tempat itu secepatnya.
Krak!
Zefania tersentak. Suara yang memecah keheningan itu membuatnya refleks berdiri dari duduknya. Kepalanya menoleh kesana-kemari, tapi tidak ada seorang pun. Suasana di sana masih tenang, hanya saja aura tempat itu rasanya semakin lama semakin membuat bulu kuduk Zefania berdiri.
“Astaga!”
Punggung Zefania merinding. Dia lantas menoleh setelah mendengar suara nyaring wanita di belakangnya.
“Oh, ya ampun. Apakah Ellendis mengirimku sebuah hadiah?”
Wanita cantik dengan rambut blonde dan mata biru safir yang indah. Senyum bahagianya terlihat jelas di bibirnya yang ranum. Itulah yang pertama kali Zefania lihat— sebelum dia menyadari arti tatapan wanita itu padanya.
“Marionette, lihatlah! Dia sungguh cantik!” seru wanita itu. Dia berjalan cepat ke arah Zefania yang sampai saat ini masih membeku di tempatnya.
“Lady Latiathe, mohon hati-hati!” teriak pelayan wanita yang terlihat khawatir melihat majikannya terburu-buru.
Latiathe masih mempertahankan senyumannya saat dirinya sudah berada di hadapan Zefania. Dia mengulurkan tangannya, menyusuri rambut perak Zefania yang terurai dengan butiran salju.
“Namamu?”
Zefania mengerjapkan matanya, dia menatap Latiathe dengan gugup. “Aizen.”
“Nama yang bagus,” pujinya.
Jari-jari Latiathe masih aktif menyisir rambut Zefania. Matanya terlihat mengamati tubuh Zefania dari atas sampai bawah dengan wajah yang sampai saat ini belum mengendurkan senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower in the Duke's Mansion
Fantasy[ Flower in the Duke's Mansion ] Seorang gadis yang tiba-tiba berpindah ke dunia lain, lalu menjadi seorang budak yang dijual dengan harga tinggi karena fisik langkanya. Hingga kemudian, gadis itu dibeli oleh seorang duke yang keberadaannya penuh de...