Chapter 23 : Rahasia dalam Mimpi (2)

5K 735 24
                                    

“Perkenalkan, aku Debora, seorang pemurni, dan pemilik sang mawar putih.”

“Apa?”

Sejenak, Zefania terkejut mendengar sebuah kalimat yang asing baginya. Pemurni? Pemilik mawar putih? Sebutan itu bahkan tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya sehingga ia tidak tahu sama sekali apa artinya.

Debora, yang seolah-olah tahu kebingungan di wajah Zefania, segera membuka mulutnya, “Ada banyak keajaiban di dunia ini, Nak. Kau mungkin telah melihat salah satunya,” katanya tenang.

Otak Zefania secara refleks mulai mengingat kembali kejadian yang pernah ia alami.

Benar. Mungkin jika ia masih berada di kehidupan sebelumnya, hal-hal tersebut sama saja dengan mitos yang tidak pasti kebenarannya, bahkan tidak aneh jika menyebutnya mustahil. Mana, sihir, bahkan fisiknya pun merupakan salah satu hal yang cukup di luar nalar. Tidak seharusnya ia merasa terkejut jika ada sesuatu yang lebih mengesankan dari hal itu.

“Penyihir adalah eksistensi yang luar biasa. Mereka sama seperti manusia pada umumnya, tapi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Itulah yang membuat mereka spesial dan menjadi sasaran kedengkian para penguasa. Namun, orang biasa bisa apa melawan eksistensi yang begitu besar? Berapa kali pun mereka mencoba memutar otak dua kali lebih cermat, pada akhirnya mereka gagal. Manusia biasa akan tetap menjadi biasa, dan penyihir akan terus berkembang. Meski keberadaan mereka semakin minoritas dari abad ke abad.”

Zefania mendengarkan setiap ucapan Debora dengan baik. Namun, sedikit pertanyaan muncul di benaknya. “Jadi, apa yang kau coba sampaikan Nona Debora?”

Debora menatap Zefania. Senyum hangat muncul di bibirnya. Bukan tanpa alasan, panggilan ‘Nona Debora’ terasa nostalgia baginya. “Penyihir memang luar biasa, tapi apa kau tahu siapa yang lebih luar biasa dari mereka?”

Zefania menggeleng.

“Mereka adalah pemurni. Eksistensi yang lebih mulia dari penyihir.”

“Jika itu pemurni, maka kau—”

“Tepat sekali. Aku salah satunya, dan kau juga bagian dari kami, Nak.”

Tangkai bunga yang dipegang Zefania seketika terjatuh tanpa sengaja. “Maksudmu ... aku?”

“Ya, ini salah satu rahasia yang hendak kusampaikan padamu,” aku Debora. “Ini memang tidak pantas dikatakan olehku Nak, tapi takdirmu tidak hanya tentang menyebrang ke dunia ini, melainkan juga identitasmu sebagai pemurni. Satu-satunya pemurni yang masih ada.”

“Satu-satunya? Apa maksudmu? Bagaimana denganmu?” Tenggorokan Zefania tercekat. Selain fakta bahwa dirinya telah dijadikan sebagai pemurni, kata ‘satu-satunya’ dari Debora bahkan lebih menggetarkan hatinya.

Ada senyuman tak tertahankan dari Debora. Ia tidak mengabaikan tanda tanya gadis di depannya, tapi cukup sulit baginya untuk mengungkapkan fakta yang sekilas mengingatkan Debora akan masa lalunya.

“Yah, bukan maksudku untuk memperdayaimu, aku hanyalah masa lalu yang sudah tenggelam oleh waktu.” Debora berdeham sejenak, “Alasan mengapa pemurni lebih mulia dari penyihir adalah karena energi mereka lebih murni. Semakin murni energi itu, semakin kuat pula seseorang. Itulah keistimewaan kita, Nak. Tanpa disadari banyak orang, kitalah penguasa yang sebenarnya.”

“Dan aku yang ada di hadapanmu ini adalah salah satu keistimewaan itu,” ungkap Debora pada akhirnya.

Zefania menatapnya lekat-lekat. Entah mengapa, meski kata-kata Debora cukup sulit dicerna, ia bisa memahaminya. Mulutnya menjadi kelu untuk berbicara. Pikirannya bahkan terasa enggan untuk menerima sebuah kenyataan lagi.

Flower in the Duke's MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang