Ellendis tidak henti-hentinya merenung sembari menatap jendela. Matanya yang tajam juga tidak memperlihatkan sedikitpun kantong hitam akibat tidak tidur beberapa hari terakhir. Malah, dia lebih seperti seseorang yang baru bangun dari tidur nyenyaknya.
Galan membersihkan kacamatanya, sesekali merapikan bajunya, lekas kembali menatap tuannya yang memunggunginya itu. Sekembalinya Ellendis dari kamar Zefania beberapa jam yang lalu, tingkahnya menjadi sedikit aneh. Sudah berjam-jam Ellendis hanya berdiri di depan jendela kamarnya, menatap kedua tangannya, atau menghela nafas sambil tersenyum. Galan sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada Ellendis.
“Yang Mulia, apa ada sesuatu yang terjadi?”
Ellendis melirik, lalu senyum miring muncul di bibirnya. Dia tidak peduli mengenai ekspresi Galan yang menatapnya aneh. Semua ini karena gadis perak itu, begitupun yang sedang ia lakukan sekarang. Ellendis sudah terbiasa akan perubahan sikapnya yang berbeda akhir-akhir ini.
“Aku rasa sejak pertama kali bertemu, dia sudah menarik, tapi aku tidak menyangka akan semenarik ini,” ucap Ellendis.
Ia meletakkan tangannya pada meja. Matanya yang segelap langit malam memancarkan kilatan puas. Sampai dia melihat sebuah pajangan di depannya, senyumnya perlahan mulai melebar. Seperti hujan salju berbulan-bulan yang telah mereda, perasaan Ellendis bagaikan dipenuhi kedamaian sejak semalam.
Galan membisu melihat tuan yang ada di depan matanya. Dia adalah bawahan paling setia Ellendis yang sudah menemaninya bahkan sebelum Erghen ada. Dia yang paling mengerti rahasia dan semua tentang Ellendis, terutama suasana hatinya. Namun, saat ini, pertama kalinya bagi Galan tidak bisa menebak isi hati Ellendis.
“Galan, persiapkan dan bawa gadis itu kemari!”
Suara dingin Ellendis berdering membuyarkan lamunan Galan. Sontak ia menatap jam saku di tangannya dan mendongak ke arah Ellendis. “Apa Anda yakin dia sudah bangun?”
Alis Ellendis berkerut, dia menjawab, “Bukankah tiga hari sudah cukup untuknya tidur? Mau sampai kapan dia membuatku bersabar?”
Galan mengangguk diam-diam. Jujur saja, dia agak kesepian tidak ada yang menemaninya berbicara—lebih tepatnya bertengkar—selama tiga hari ini. Ia dan Zefania memang tidak pernah akur. Namun, berkat ketidakakuran itu, Galan terbebas dari rasa kesepian yang selama ini menjeratnya.
“Baik, Yang Mulia. Saya pamit undur diri.”
Sepeninggalan Galan, Ellendis kembali menatap pajangan yang menjadi penghias di depan jendela kamarnya. Wajahnya yang secerah pagi itu membuat Ellendis sekilas tampak seperti manusia pada umumnya.
“Layu satu untuk 50 tahun, layu dua untuk satu abad. Bukankah itu akan menjadi omong kosong, huh?”
***
Kesibukan di mansion Duke Erghen sudah terasa sejak subuh. Banyak pelayan lalu lalang dan para penjaga saling berganti shift sesuai jadwal mereka. Para ksatria juga disiplin melakukan pemanasan di halaman yang penuh dengan tumpukan salju.
Hari ini adalah hari yang cerah meski matahari tidak menampakan dirinya di cakrawala. Hujan salju yang telah berjalan satu bulan tanpa henti di wilayah Erghen sudah sepenuhnya reda. Itulah mengapa kediaman Duke Erghen yang terbiasa suram akhirnya memperlihatkan sisi lainnya.
Senyum tipis muncul di wajah Zefania saat melihat suasana itu. Perasaan kesal karena bangun setelah pingsan. Namun, tugas pelayan pribadi tidak bisa ditunda, telah sepenuhnya menghilang digantikan oleh kebahagiaan. Ia menikmati udara sejuk pagi hari yang terasa menjernihkan pikirannya. Berkat kesejukan itu, semua traumanya bisa dilupakan untuk sementara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower in the Duke's Mansion
Fantasy[ Flower in the Duke's Mansion ] Seorang gadis yang tiba-tiba berpindah ke dunia lain, lalu menjadi seorang budak yang dijual dengan harga tinggi karena fisik langkanya. Hingga kemudian, gadis itu dibeli oleh seorang duke yang keberadaannya penuh de...