Chapter 21 : Pemurni

5.8K 774 14
                                    

Dahulu kala, saat kekaisaran Eustachia belum berdiri, perang berkepanjangan adalah makanan sehari-hari bagi rakyat. Tumpah darah bagaikan sungai tak berujung, mayat-mayat yang berserakan adalah pemandangan yang sudah umum, dan teriakan-teriakan pilu menjadi satu-satunya lagu sebelum tidur.

Mereka hanya menginginkan satu: kekuasaan. Para manusia yang tak tahu apa-apa hanya berkorban demi mewujudkan keinginan pemimpin mereka menjadi seorang penguasa dunia.

Rakyat, prajurit, bahkan para penyihir yang individualis pun ikut terseret. Jumlah penyihir yang saat itu nyaris sepertiga dari manusia, mengakibatkan banyak dari penguasa melibatkan mereka. Selain memperkuat pasukan, keberadaan penyihir meningkatkan peluang kemenangan karena sihir memiliki efektivitas tempur yang lebih tinggi dari kemampuan manusia biasa.

Namun, seperti manusia yang akan lelah jika terus menerus menggunakan energi mereka, penyihir pun demikian. Semakin unggul kemampuan yang mereka punya, semakin besar resiko yang dibayar.

Penyihir tidak hanya akan mengalami kelelahan, tapi juga kehancuran jiwa secara perlahan. Mana yang seharusnya menjadi energi kehidupan mereka, malah berbalik menjadi parasit yang menggerogoti daging mereka setiap detik.

Satu-satunya cara untuk memperlambat kehancuran jiwa adalah dimurnikan. Menyalurkan mana suci ke dalam tubuh seorang penyihir yang terkontaminasi. Meski demikian, pemurnian hanya berlaku sementara dan perlu adanya pemurnian ulang. Itu sebabnya, keberadaan Pemurni merupakan sebuah berkah terbesar bagi penyihir.

Mereka sungguh langka, satu banding seribu dari penyihir yang ada, atau bahkan jika sial, tidak ada sama sekali untuk beberapa dekade.

Siapa pun pemurni itu, mereka akan selalu bersedia memurnikan penyihir yang terkontaminasi.

Namun, itu hanya berlaku bagi mereka yang pantas.

Sedikit saja menyentuh batasan mereka, nyawa penyihir yang sedari awal berada di tangan pemurni, selalu bisa diputarbalikkan kapan saja oleh kehendak pemurni.

Dan kini, hanya ada satu pemurni di dunia yang telah muncul kembali sejak ratusan tahun.

“Takdir memang benar-benar.” Galan menggeleng, masih tidak percaya.

“Ke depannya mungkin akan banyak hal yang berubah.”

Ellendis mengamati raut wajah Galan. Kemudian ia berpaling memandang vas bunga yang entah sudah berumur berapa tahun itu. Hatinya terasa seperti bunga yang mekar di padang tandus, tapi di sisi lain, terasa pedih karena akan sulit menemukan sumber kehidupannya.

“Ngomong-ngomong Yang Mulia, gadis itu sekarang tidak pingsan, melainkan bermimpi, 'kan?” tebak Galan setelah beberapa saat merenung.

Ellendis mengangguk ringan. “Seharusnya. Energi yang meledak karena terpengaruh emosinya saat itu pasti telah membawanya ke tahap ini.”

“Ini sulit. Dia pasti sudah tahu identitasnya setelah bangun,” gumam Galan.

“Apa yang akan Anda lakukan terkait hal ini?”

Ellendis perlahan berjalan melewati Galan, menuju pintu kamarnya. “Tidak perlu melakukan apa-apa.”

Mungkin itu yang keluar dari mulutnya. Munafik memang. Jika apa yang dikatakan Galan benar, dalam hatinya, ada hasrat tersembunyi ingin menguasai Zefania apa pun resikonya.

Meski gadis itu berteriak ingin keluar, menangis akan hidupnya, atau meronta-ronta. Ia ingin Zefania untuknya, melihatnya, dan bersamanya. Hanya dia. Namun, Ellendis selalu sadar. Bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan bisa.

“Tapi bagaimana jika dia menyangkal identitasnya dan memilih pergi? Apa yang akan terjadi setelahnya, Anda akan menunggu lagi dalam kegelapan tak berujung seperti ini. Bukankah itu bukan hal yang Anda inginkan?” Galan mulai berseru khawatir. Dia menatap punggung Ellendis dengan gelisah.

Flower in the Duke's MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang