Chapter 9 : Milikku

13.9K 1.6K 46
                                    

Salju berjatuhan dengan pelan, menjadikan malam yang gelap terisi oleh butiran kristal yang memantulkan cahaya bulan. Hewan-hewan malam tak jarang saling sahut menyahut dari hutan yang tak jauh dari kediaman Duke Erghen.

Suara kertas yang tersibak terdengar mengisi keheningan dalam sebuah ruangan dengan seorang gadis terbaring lemah di sebuah ranjang.

Seharusnya, ia sedang bersinar layaknya bulan dan bintang di langit malam. Namun, sudah tiga hari lamanya sosok gadis itu kehilangan cahaya dan meredup bersama wajah pucatnya.

Di malam yang damai, di dalam sebuah kamar itu, suara lenguhan tiba-tiba terdengar. Mata gadis yang sudah lama tertutup itu perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba mengerti dimana dan apa yang sedang terjadi. Pandangannya menangkap sosok lelaki yang sedang serius membolak-balikan dokumen di sempingnya.

Ellendis mendongak saat menyadari gerakan kecil yang bersumber dari Zefania, wajahnya yang dingin dan tanpa ekspresi tidak pernah berubah. Dia menatap Zefania dalam kegelapan. "Kau sudah bangun?"

Zefania terdiam, ingatan tentang mimpi yang masih segar di kepalanya perlahan muncul. Air mata yang sudah tak terbendung seketika mengalir dari pelupuk matanya. Dia menangis dalam diam. Pikirannya kacau balau, di benaknya terlintas sebuah pertanyaan, semenyedihkan itukah hidupnya?

Mimpi yang menunjukkan kilasan kehidupannya di masa lalu, kisah menyedihkan yang tak ingin teringat kembali, lalu akar dari penyebab Zefania menginginkan kehidupan baru yang sayangnya tidak sesuai imajinasi indahnya setelah menjadi realita.

Zefania rindu.

Dia rindu Arden, adiknya yang terakhir kali Zefania lihat saat berumur 11 tahun. Dia rindu dunianya yang sepi tanpa mengenal sisi kegelapan. Saat ini, dia benar-benar merasakan sebuah perasaan rindu yang sangat mendalam.

Melihat tatapan Zefania yang kosong semenjak dia bangun, Ellendis menghela nafas, lalu ia menaruh dokumennya di meja. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis di hadapannya, dia tidak peduli. Tangannya perlahan terulur untuk membantu Zefania bersandar pada bantal. Namun, suara Zefania menghentikannya.

"Apa ini juga mimpi?"

Ellendis menatap pipi Zefania yang basah, air mata juga masih mengalir deras di matanya. Seperti biasa, pikiran Zefania kosong, Ellendis tidak bisa membacanya. Hanya satu yang dia tahu, gadis ini belum sepenuhnya sadar.

Dia mengigau rupanya.

"Bukan," jawab Ellendis seraya membantu Zefania bersandar.

Entah dorongan dari mana, tangan Ellendis beralih mengusap air mata yang masih tertinggal di pipi gadis di hadapannya. Zefania refleks memejamkan matanya, ia sungguh menikmati usapan Ellendis yang lembut itu. Tangannya terulur tanpa sadar, menyentuh lengan Ellendis.

"Bisakah Anda tetap di sini?" pintanya dengan suara serak dan lirih.

Ellendis melirik tangan Zefania yang memegangnya erat. Aneh sekali. Dia adalah orang yang sangat membenci sentuhan dari orang lain. Namun, mengapa gadis ini adalah pengecualian?

Sentuhan dari Zefania membuat perasaan berat yang selama tiga hari Ellendis rasakan perlahan memudar, hatinya terasa lega, dan beban di pikirannya seperti dihapuskan.

Hal itu membuat Ellendis benar-benar sulit untuk menolak permintaan Zefania. Tangannya memutuskan untuk menangkup setengah dari wajah Zefania, lalu menatap lurus manik mata peraknya yang kosong itu.

Dia menjawab, "Jika itu maumu."

Zefania tersenyum. Jawaban Ellendis membuat suasana hatinya berangsur-angsur membaik. Walaupun dia tahu, bahwa perlakuan Ellendis sekarang pasti hanya sementara. Entah besok pagi atau lusa, sikap Ellendis yang dingin dan acuh pasti akan kembali karena itu adalah sikap alaminya.

Flower in the Duke's MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang