Satu minggu berlalu semenjak Zefania menginjakkan kakinya di kediaman Duke Erghen. Dalam waktu itu pula dia sudah menjelajah beberapa tempat dan mengetahui situasi di dalam mansion.
Tenang.
Terlalu tenang sampai-sampai Zefania ingin menangis karena terlalu membosankan. Tidak ada kebun bunga, tidak ada warna lain selain hitam putih dan warna gelap lainnya. Sebuah kesuraman yang tiada kentara.
Pelayan Duke Erghen hampir semuanya adalah orang yang tertutup dan tidak bisa diajak mengobrol santai. Entah itu karena tertekan atau Ellendis memang sengaja memilih tipe pelayan yang tidak banyak bicara.
Meski demikian, tempat ini agak cocok untuk Zefania yang pada dasarnya lebih banyak diam. Bisa dibilang, Zefania adalah gadis introvert.
Suara gesekan antara pena dan kertas terdengar di ruang baca perpustakaan. Hanya ada satu orang yang sedang sibuk dengan dunianya di sana.
Zefania meletakkan penanya dengan kasar, lalu melihat telapak tangannya yang sudah kemerahan dan sedikit keriput karena bersentuhan dengan pena terlalu lama.
“Seharusnya aku bawa bolpoin kalau tahu akan begini,” gumamnya. Zefania sedang membuat lelucon tidak masuk akal sekarang.
Menulis dengan pena memang sulit. Apalagi, di dunia ini kertas belum sehalus di zaman modern. Zefania rasanya ingin menyerah meringkas semua isi buku tebal yang maknanya bahkan dia tidak tahu.
Mungkin suatu berkah Zefania mengerti bahasa di dunia ini. Namun, malapetakanya dia belum bisa mengerti tulisannya. Karena itulah, dia berada di sini sekarang.
Zefania merebahkan kepalanya di meja. Satu minggu rasanya berlalu begitu cepat. Dia juga kelelahan saking padatnya jadwal, tidak ada waktu istirahat sama sekali untuknya beberapa hari terakhir.
Namun, ia beruntung, kesibukan itu membuat Zefania lupa akan kejadian mengerikan seminggu yang lalu. Orang normal sepertinya hanya akan kehilangan kewarasan jika terus-terusan mengingat kejadian itu.
“Hei, siapa yang menyuruhmu tidur?”
Suara berisik dan langkah kaki terdengar mendekat. Zefania terlonjak kaget. Sampai melihat sosok di depannya, ia agak menyesal karena tidak melanjutkan tidurnya saja.
Sejauh ini, hanya lelaki itu yang bisa membuat Zefania mengeluarkan ekspresinya dengan bebas terlepas dari sifatnya yang bisa lebih gila dari yang ia pikirkan.
“Tatapan macam apa itu? Kau tidak suka aku datang?”
“Ya,” jawabnya.
Galan berdecak. Tangannya mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari bajunya, lalu dengan malas ia menyibakkannya.
“Aku tidak ingin basa-basi. Langsung saja, mulai besok kau akan melayani yang mulia. Jadi, siang nanti kau akan memperdalam etiket dasar kekaisaran dengan kepala pelayan, mengerti?”
Zefania menghelas nafas berat sebelum akhirnya dia mengangguk. Hanya tinggal sedikit lagi dia bisa melalui hari-hari yang melelahkan itu dengan tuntas.
“Bagus.”
“Dan ingat, saat berkeliling jangan pernah mencoba pergi ke Paviliun Barat,” peringat Galan bersamaan dia pergi meninggalkan ruangan.
Untuk kedua kalinya Zefania mengangguk. Peringatan tanpa alasan dari Galan itu sudah berulang kali dikatakannya. Sampai saat ini, Zefania tidak pernah mengetahui alasan Galan melarangnya ke tempat bernama Paviliun Barat itu.
Pepatah mengatakan bahwa penasaran bisa melahirkan malapetaka.
Akan lebih baik bagi Zefania untuk tidak mencari tahu lebih lanjut mengenai Paviliun Barat. Karena bagi Zefania, kediaman Duke Erghen bukanlah sebuah istana indah yang penuh dengan keindahan dan kenyamanan, melainkan sebuah kegelapan dan lorong panjang yang tidak bisa dijangkau manusia normal sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower in the Duke's Mansion
Fantasy[ Flower in the Duke's Mansion ] Seorang gadis yang tiba-tiba berpindah ke dunia lain, lalu menjadi seorang budak yang dijual dengan harga tinggi karena fisik langkanya. Hingga kemudian, gadis itu dibeli oleh seorang duke yang keberadaannya penuh de...