8. Debaran

493 60 7
                                    


Kedua tangan Ervan mengangkap kedua lengan Trisha, saat gadis itu terpleset anak tangga. Mereka sedekat urat nadi sekarang. Jantung keduanya seolah maraton di tempat.

"Hati-hati, Tris," ucap Ervan lembut pada gadis yang kini masih membelakanginya itu.

Trisha menoleh tepat pada tatapan Ervan yang jatuh padanya. Ia hanya setinggi dada Ervan saat berada di depan pria jangkung itu.

Dalam jarak sedekat ini, Trisha dapat menghidu aroma parfum Ervan yang manis. Juga wajah datar itu sedikit merunduk saat bertukar pandang dengannya. Jagat raya ini pun seolah terhenti untuk sejenak.

"Maaf, aku kurang hati-hati." Trisha memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Ervan sekarang, memilih menarik diri dan menormalkan detak jantungnya yang menggila.

"Minum dulu." Ervan beranjak sebentar, meraih gelas es jeruk lalu ia ulurkan pada Trisha.

"Ooo ... diambilin minum, ya ... ya ... ya ...," komentar usil Zaki dari kejauhan.

Dua partner Ervan--Zaki dan Adam--masih setia menyaksikan adegan demi adegan yang tersuguh nyata di hadapan mereka.

Trisha meneguk es jeruknya, Ervan kemudian meraih gelas es, saat gadis itu dirasa sudah cukup meneguknya.

"Makasih, Van."

Ada sisa-sisa kecanggungan yang masih kentara di antara tatapan mata mereka yang berserobok.

"Aku lanjut, ya."

"Istirahat dulu kalau capek, Tris."

"Ini baru mulai, Van." Trisha tersenyum kemudian berbalik arah ke dinding yang sudah setengah ia buat sketsa. Gadis itu meraih palet cat yang tadi meluncur bebas ke lantai.

"Rileks aja, jangan gerogi." Ucapan Ervan sontak membuat Trisha menoleh penuh.

Ervan menarik kursi tak jauh dari tempat Trisha berdiri. Pria itu mendaratkan tubuhnya di sana dengan santai, sambil  Kedua tangan terlipat di perut. Pandangannya kembali terpusat pada dinding yang kini sudah berubah menjadi guratan garis.

Gimana nggak gerogi, sih?  Trisha meloloskan napas sekali, kemudian meneruskan membuat sketsanya.

Waktu berlalu. Sketsa di dinding sudah terbentuk sempurna. Dinding yang tadinya polos sudah berubah menjadi kerangka bangunan rumah jika dilihat sekilas.

"Keren!" Ervan berkomentar setelah Trisha menyelesaikan sketsanya.

"Belum jadi, Van."

"Belum jadi aja udah keren begini. Gimana kalau udah jadi."

"Bisa aja."

"Sebenarnya, kenapa kamu mau melakukan semua ini, Tris? Apa kamu sedang berupaya membalas budi?"

Pergerakan Trisha mencapur warna pada paletnya terhenti. "Eng--enggak. Aku melakukannya dengan senang hati."

"Kenapa?"

"Ya, seneng aja." Trisha tersenyum kikuk.

"Pasti ada alasan, kenapa kamu mau repot-repot begini, Tris?"

Sekali lagi Trisha dibuat menoleh penuh ke arah Ervan. Harusnya pria itu tidak perlu menanyakan kenapa ia mau melakukan semua ini, membuatnya bingung dan sedikit salah tingkah saja.

"Eem ...."

"Lupakan!" Ervan bangkit dari posisinya, mendekati Trisha. "Ada yang bisa kubantu sekarang?"

"Enggak, kamu duduk aja."

"Perlu aku bantu memegangi tangga, barangkali kamu jatuh lagi nanti."

Kali ini Trisha tersenyum lebar oleh gurauan Ervan barusan.

Jagat Raya Trisha (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang