18. Ikatan Emosional

418 47 9
                                    


Hujan lebat disertai angin kencang menjadi alasan mengapa Ervan belum juga mengantarkan Trisha pulang, meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pria itu kini berada di dapur menyeduh kopi hitam dan susu cokelat, minuman yang cocok saat cuaca seperti sekarang.

Trisha hening menatapi air hujan yang belum kunjung reda dari balik jendela kaca. Mocca di pangkuannya menikmati sentuhan lembut tangan Trisha.

"Diminum, Tris, mumpung masih hangat." Ervan datang dengan segelas kopi dan segelas susu cokelat dalam nampan.

"Makasih, Van."

Ervan duduk tepat di samping Trisha, menatap diam pada Mocca yang meringkuk manja di pangkuan Trisha. "Kucing nakal," celetuknya kemudian.

Trisha tertawa kecil. "Kenapa?" Masih sambil mengusap-usap bulu Mocca.

"Kalau ada kamu, Mocca selalu begitu, manja!"

"Jangan bilang kamu ngiri, Van. Ngiri sama kucing."

"Ngiri sama kucing?" Tanpa sadar senyum Ervan lolos begitu saja.

Trisha berhenti mengusap bulu-bulu Mocca saat mendapati senyum pria itu. Sudah berapa kali Ervan tersenyum hari ini? Trisha lupa menghitungnya. "Akhir-akhir ini kamu sering tersenyum, beda dengan sebelum-sebelumnya, Van."

Senyum Ervan surut. "Oh, ya? Mungkin itu karena kamu, Tris."

"Aku senang bisa membuatmu tersenyum. Aku senang, akhirnya aku bisa melihat ekspresi lain darimu, selain hanya ekspresi datar."

Ervan menatapnya hening bersama riuhnya isi kepala.

"Aku ingin memberi warna dalam dirimu, Van. Seperti kanvas-kanvas kosong yang kemudian berubah menjadi lukisan."

Seketika suasana senyap, menyisakan dua pasang bola mata yang saling menyorot. Dengan Mocca masih meringkuk di pangkuan. Dengan gemericik air hujan yang masih betah mengepung kota. Dengan akhirnya, jemari kokoh Ervan terulur menyentuh sebelah pipi Trisha, disusul wajahnya perlahan-lahan mendekat--memangkas jarak.

Ervan tidak mampu menepis gejolak dalam diri, ia tak cukup kuat untuk membinasakan perasaan yang seharusnya tidak ia biarkan ada. Ervan menghalau semua keresahannya dalam pangutan lembut di bibir Trisha. Untuk sejenak, ia ingin melupakan tentang kebenciannya, tentang balas dendamnya. Ia hanya ingin mencium gadis ini dengan sepenuh hati.

Cumbuan Ervan yang intens membuat Mocca melompat dari pangkuan Trisha. Kucing jantan itu terduduk di lantai dengan suara khasnya, membuat Ervan mengakhiri serangan. Wajah keduanya masih sedekat urat nadi sekarang. Ervan menatapi Trisha yang perlahan-lahan membuka mata. Mendapati sepasang mata jelaga Ervan yang menyorot, gadis itu mengerjap, menundukkan pandangan. Jantungnya masih meletup-letup di dalam sana.

"Miouw ...."

Sontak keduanya menoleh ke arah Mocca, kemudian kembali saling bertukar pandang satu sama lain, lalu kompak tertawa bersama.

"Kamu bikin Mocca takut, Van."

"Enggak seharusnya Mocca lihat adegan tadi, dia masih kecil," seloroh Ervan dengan tatapan mengunci.

Trisha yang mulai terperangkap mata jelaganya, kemudian mengambil alih suasana dengan mendaratkan cubitan kecil di perut Ervan.

"Awww!" pekik Ervan mengaduh.

Trisha bangkit, kembali meraih Mocca dalam gendongan dan membawa kucing berbulu kecokelatan itu duduk di pangkuannya. "Maaf, ya, Mocca, Tuanmu memang sedikit ... nakal," katanya sambil melirik ke arah Ervan.

Mendengar celotehan Trisha, senyum Ervan lolos. Namun, tak berapa lama senyum itu pudar seiring ingatannya kembali pada misi balas dendam. Sungguh Ervan diselimuti dilema besar saat ini.

Jagat Raya Trisha (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang