Jihoon menunduk, membersihkan sisa-sisa darah pada ubin menggunakan tisu basah yang sering ia bawa.
"Mau ke toilet? Aku tunggu di depan." Johyun mengangguk dan melepas mantel hitamnya lalu berjalan duluan ke toilet. Jihoon bersandar ke tembok sambil termenung memikirkan pikiran gegabah nya tadi.
"Laki-laki dan perempuan bisa murni sahabatan," gumamnya.
"Lagian hubungan mereka sudah cukup lama, sudah pasti cinta mereka sangat kuat," sambungnya dengan senyuman miris.
"Dan aku hanya akan jadi orang menyedihkan kalau mengungkapkannya tadi.. Jangan bodoh, Park Jihoon."
.
.
"Kau bicara dengan siapa?"
"Sudah selesai?"
Johyun tersenyum tipis mengambil mantelnya dari pelukan Jihoon.
"Jihoon, kau lihat berita tadi pagi?"
"Berita apa?"
"Beberapa peninggalan budaya ditemukan di daratan sungai Han. Pelakunya kepala museum Im, dosen semester satu yang mengajari kami waktu itu semenjak pensiun beliau beralih profesi."
"Untuk apa dia mengubur peninggalan budaya di tempat lain kalau dia saja kepala museum?"
Johyun tertawa sinis, "yang dia kubur itu harganya kalau dijual bisa mencapai ratusan trilliun."