______________________________________________
Setiap kisah pasti dibarengi dengan kata 'mulai' di awalnya.
Entah itu secara tersirat maupun tersurat.
Namun apakah ini memang permulaan yang sebenarnya?
Bagaimana jika semua hanyalah 'jembatan' menuju permulaan itu?
______________________________________________❄️°°°ZO: WTWSFAW°°°❄️
Apa jadinya jika seseorang punya trauma akan sesuatu? Biasanya mereka akan merasa takut saat bertemu ataupun melihatnya, bukan?Panik. Gelisah. Tidak suka.
Hal yang lumrah, tetapi bukan berarti bisa dianggap sepele.
Seoul. Bagi beberapa orang, kota tersebut adalah kota yang indah nan menyenangkan. Namun tidak untuk seorang gadis bernama Park Aeri. Sepuluh tahun laluㅡah, mungkin itu adalah tahun pukulan baginya.
Tepatnya, pada tahun 2010. Saat Aeri menginjak usia 7 waktu itu. Aeri kecil tentu tidak pernah menyangka kejadian tragis semacam kecelakaan mobil akan menimpa ayah dan ibu hingga menyebabkan keduanya pergi untuk selamanya. Tidak sama sekali. Meski rupanya kehendak takdir lebih menyakitkan dari dugaan. Tak ada yang mampu menolak apalagi menghentikan. Hanya keteguhan hatilah yang mampu menguatkan setelahnya.
Sebagai anak tunggal, gadis itu tentu tidak punya siapa-siapa lagi kala itu. Namun beruntung karena masih ada sang bibi dari pihak ibu yang mau mengasuhnya. Membawa Aeri ke Busan untuk tinggal bersama, sekaligus karena ia juga punya tiga orang anak.
Aeri bahkan memiliki tekad kuat saat itu; bahwa dirinya takkan mau kembali ke Seoul lagi, apapun yang terjadi.
Beruntung gadis itu tidak sampai punya gangguan serangan panik. Meski memang kerap kali merasa takut, tetapi juga merasa tidak suka di saat bersamaan.
Aku benci Seoul!
Ya, kalimat itu selalu lolos dari lubuk hati terdalamnya. Bagaikan sudah mendarah daging seakan kota itulah penyebab terbesar kematian ayah ibunya. Padahal ayolah! Kalau mau dibilang, apa sih yang salah dari itu semua?
Takdir?
Mungkin. Orang-orang memang terlalu bodoh untuk lebih memilih menyalahkan yang namanya takdir. Meski mereka tahu betul bahwa semua yang terjadi adalah karena diri mereka sendiri. Kurang hati-hati, tidak teliti bahkan terlalu ceroboh. Benar-benar memusingkan.
Makanya tak heran kenapa Park Aeri berpikir untuk tidak menuduh kehendak Tuhan yang memang sudah digariskan untuknya itu. Memilih untuk membenci tempat kejadian dan melupakannya saja mungkin menjadi satu-satunya opsi terbaik menurutnya.
"Ayah, Ibu, aku rindu kalian..."
Sepasang netra itu terbuka perlahan. Mengerjap-ngerjap saat dirasa penglihatannya mengabur. Pening menyerang kepalanya. Terasa berat saat ia mulai tegak sepenuhnya. "Aku... dimana?" Gumamnya pelan. Tertegun saat menyadari ternyata ia sedang duduk di atas jok sebuah mobil.
"Oh? Aeri nuna sudah bangun?"
Suara seorang pemuda dari jok depan menyapanya. Menyipitkan mata, gadis yang dipanggil Aeri itu sontak menguceknya sejenak.
Itu rupanya Kim Kai, adik sepupunya.
"Tidurmu terlalu lama, nuna. Kita bahkan sudah hampir sampai." Sambung pemuda itu lagi. Menatap lurus lawannya dari kaca spion depan.
"Sepertinya kau sangat kelelahan Aeri." Kali ini, seorang gadis di sebelah Kai ikut berucap. Masih fokus menyetir saat sempat melirik sekilas pada Aeri seperti yang dilakukan Kai sebelumnya. "Bukankah semalam sudah kubilang jangan tidur terlalu larut? Kau pasti tidak mendengarkan dan malah begadang, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] ZERO O'CLOCK: When The World Stops For A While
Fantasi[𝙊𝙉 𝙂𝙊𝙄𝙉𝙂] Park Aeri tidak pernah berpikir bahwa kehidupan seseorang di luar sana rupanya tergantung pada pilihannya. Ada satu pemuda Seoul yang seharusnya bisa ia selamatkan saat itu. Jika saja waktu dapat diulang, gadis itu ingin memulai s...