"Kenapa kamu bisa kayak begini sih, Dek?" Ujar Edzar tidak habis pikir mendapati pelipis anak bungsunya yang sudah bewarna ungu sembari mengompres dengan es. Andhra meringis kesakitan ketika sang ayah menekan pelipisnya terlalu kencang, "Pelan-pelan Yah, sakit."
"Salah kamu sendiri. Kamu habis ngapain emang sampai bisa kayak begini? Berantem?" Tuding Edzar sembari mengoleskan salep pada pelipis anaknya itu.
Andhra terdiam, tidak tahu untuk menjawab apa. Tidak mungkin jika ia mengatakan bahwa berasal dari sang kakak, meskipun dirinya sangat kesal kepada sang kakak, ia tidak ingin sang kakak terkenal masalah. Ia menghirup nafas dalam-dalam, merasakan sesak yang menghimpit organ pernapasannya.
Melihat gelagat anaknya yang menahan sakit membuat dirinya dilanda khawatir, "Ayah antar kamu ke rumah sakit ya."
"Enggak Yah." Tolak Andhra lagi. Setelahnya ia terbatuk kecil.
"Kamu udah begini loh, Ayah gak tega ngeliatnya. Itu juga buat kebaikan kamu, Dek." Andhra kembali menggelengkan kepalanya, tetap menolak tawaran sang ayah.
"Jawab yang jujur, di sekolah kamu ngapain?"
"Gak ngapa-ngapain. Aku cuma duduk doang. Gak ngelakuin aktivitas berat." Andhra menjawab dengan gugup, takut kebohongannya di ketahui oleh sang Ayah. Dirinya tidak mungkin menceritakan seluruh kegiatannya kepada ayahnya, sebab akan berdampak panjang.
"Kamu gak bohong kan?" Edzar memastikan kembali jawabannya anaknya yang sangat mencurigakan. Menatap anakanya dengan selidik. Andhra menggeleng kaku, dirinya sangat gelisah, takut jika kebohongannya diketahui oleh sang ayah.
Edzar memasukan salep kembali ke kotak obat, kemudian menaruhnya ke dalam nakas, "Kamu istirahata lagi aja. Kalau makanannya sudah selesai Ayah bangunin. Kamu belum makan siang kan?" Andhra mengangguk lagi, mengiyakan. Selanjutnya Edzar keluar kamar meninggalkan Andhra.
Andhra menghela napas lega bahwa sang ayah mempercayai ucapannya. Kemudian ia menepuk dadanya pelan berharap sesak yang kembali ia rasakan segera hilang.
Andhra bangkit melihat-lihat isi rak buku tepat berada di depannya. Buku Tertalogi Buru, Di Bawah Bendera Revolusi, Di Bawah Lentera Merah, Demokrasi Kita, Catatan Seorang Demonstran, dan masih banyak lagi buku klasik yang terpajang di rak buku tersebut yang ia yakini buku-buku tersebut milik mendiang sang bunda. Dirinya ragu jika sang ayah membaca buku-buku tersebut karena sang ayah banyak menghabiskan waktu luangnya dengan membaca jurnal-jurnal kedokteran.
"Tebel banget." Andhra menatap takjub buku Dibawah Bendera Revolusi yang melebihi tebal novel yang sedang ia baca. Atensinya teralihkan pada album foto tepat di samping buku itu, lantas saja ia mengambilnya dan kembali duduk di pinggiran kasur.
"Cantik." Pujinya melihat foto sang bunda dibaluti dengan kebaya khas Sunda dalam acara pernikahan mereka. Lembar demi lembar ia lihat dimulai dari awal pernikahan hingga lahir dirinya, semua kenangan bersama sang bunda terekam jelas di foto-foto tersebut.
Pintu kamar terbuka menampilkan Rafa dengan baju sekolah yang masih melekap pada tubuhnya, menghampiri adiknya yang tengah fokus pada album foto yang dipengangnya, "Dek, gua pengen ngomong." Andhra berhenti seketika. Ia menundukan kepalanya enggan menatap wajah sang kakak dan membiarkan Rafa berbicara, "Gua minta untuk dua hari yang lalu. Itu beneran gak sengaja, waktu itu emosi gua2 bener-bener gak stabil. Gua minta maaf." Rafa berkata penuh penyesalan.
Andhra mendongak, wajah mereka saling bertatapan, "Gua maafin." Rafa tersenyum, perasaan yang mengganjal selama dua hari hilang seketika, "Akhirnya, susah banget minta maaf ke lu, Dek." Rafa merangkul tubuh Adiknya.
"Tapi gua mau lu gak ngulangin kayak gitu lagi."
"Gak janji. Kalau kamu keluar dari basket baru bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Him
Novela Juvenil[Slow Update] Kisah seorang pria yang hidup penuh dengan kesakitan, teka-teki, dan rahasia besar yang ia tidak ketahui. "Setiap manusia pasti memiliki kisahnya masing-masing, bukan?"