Jandaku
#Penyesalan_Tiada_Akhir"Maaf! Sepertinya, abang harus segera menceraikanmu!"
Tak ada angin! Tak ada hujan! Ucapan Hendra, bak petir nan menggelegar di siang bolong. Menghancurkan semua persendian dan tubuh Rani. Membuat perempuan muda berpenampilan sederhana itu luruh di kursi meja makan. Tubuhnya bergetar. Seketika, gelas yang ada di genggaman pun membentur lantai. Hancur! Sehancur hati Rani yang menyerpih.
"Apa salah Rani Bang?" tanya Rani pelan dengan getar suara yang tak dapat ia sembunyikan. Meski sakit, ia masih berusaha bertutur kata baik pada lelaki yang telah mengikatnya dua bulan lalu.
Hendra tergagap! Ia bingung, mesti bagaimana menjawab pertanyaan perempuan yang telah dihancurkan hatinya.
"Rani janji! Rani akan berusaha memperbaiki diri dan belajar lebih banyak lagi untuk memantaskan diri mendampingi Abang. Tolong kasih tahu! Apa yang harus Rani lakukan, agar Abang tak menjatuhkan talak!"
Rani yang sempoyongan, bangkit dari duduk dan menatap Hendra dengan mata yang mengembun. Sementara, lelaki dengan kemeja navy yang digulung sebatas lengan itu memalingkan wajah. Ada rasa tak tega melihat telaga yang selalu bersinar itu menyendu akibat ulahnya.
"Bang!" pinta Rani pilu dengan kedua tangan menggenggam lengan Hendra.
Hendra yang terperanjat, sontak menyentak tangan Rani. Membuat perempuan itu semakin hancur.
"Aku tak mencintaimu!"
Kembali tubuh Rani meluruh. Kali ini, lantai yang menjadi tempatnya berpijak seakan berguncang. Membuat tubuhnya tersungkur dan bersimpuh di sana.
"Bukankah abang berjanji untuk belajar mencintai Rani?" Dengan suara serak menahan tangis, Rani mengajukan tanya. Sementara itu, ketidakberdayaannya membuat ia tak mampu untuk sekedar mengangkat kepala.
"Maaf! Aku tak bisa memenuhi janji!" ucap Hendra seakan tanpa dosa.
"Kenapa tidak mencoba? Bukankah kita baru melangkah? Rani akan sabar menunggu hingga cinta itu datang!"
"Maaf! Aku tak bisa!"
"Kenapa?"
"Aurel telah kembali!"
"Aurel?"
"Ya! Dan kami akan segera menjalankan rencana yang tertunda."
"Tertunda? Bukankah Mbak Aurel sendiri yang telah membatalkannya?"
Pertanyaan tersebut membuat Hendra terdiam. Ia pun tak dapat mengingkari ucapan Rani yang tepat sasaran. Ia sadar, gadis yang dua bulan lalu bekerja sebagai asisten Aurel, mengetahui persis seluk beluk penyebab kegagalan pernikahan mereka.
Tapi, bukankah Aurel telah kembali dan menyadari kesalahannya? Gadis itu pun sudah meminta maaf dan bersedia melanjutkan rencana mereka. Saat itu, ia yang tengah patah hati, tidak sabar hingga memilih gadis lain untuk dinikahinya.
Apa salah jika ia memilih Aurel? Bukankah gadis cantik itu yang selalu ia impikan untuk menjadi pendamping hidupnya? Bahkan, sejak zaman putih abu-abu. Dimana, bunga yang selalu menguarkan wangi itu selalu menjadi incaran para kumbang. Termasuk dirinya! Apakah ia akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut? Saat sebentar lagi, kemenangan berada di depan mata.
"Silahkan Abang nikahi Mbak Aurel! Rani rela! Meski harus di madu."
"Sepertinya, itu bukan pilihan yang tepat. Aurel tidak mau dikatakan pelakor. Karena, memang hak dialah berada di posisimu sekarang."
Rani mengangkat wajah! Tanpa belas kasih, lelaki yang dua bulan ini selalu bersikap manis, ternyata tak lebih dari sandiwara. Dengan kejam, ia menggores luka di sudut hati Rani.
"Jangan ceraikan Rani, Bang!" Perempuan delapan belas tahun itu menghiba. Namun, sepertinya sia-sia! Dengan angkuhnya Hendra menggelengkan kepala.
"Maaf! Aku tidak bisa!"
Dengan manik yang bersimbah air mata, Rani menatap lekat lelaki yang telah ia serahkan seluruh hati dan cintanya. Lelaki yang ia harapkan untuk menua bersama. Bak pungguk merindukan bulan, sepertinya harapan Rani yang tinggi telah terhempas. Menyadari semua, ia pun menekur dalam.
Cukup lama Rani tersedu. Setelah menguasai hati dan emosinya, Rani menghapus jejak tangis. Dengan pipi yang menyembab, serta puncak hidung dan mata nan memerah Rani mengangkat kepala. Mensejajarkan pandangan dengan lelaki yang sebentar lagi meninggalkannya.
"Apakah Abang yakin dengan keputusan ini?" Dengan tenang dan tanpa air mata, Rani mengajukan tanya.
"Ya!
"Tak inginkah Abang berpikir kembali?"
"Tidak!" ucap Hendra yakin.
"Aku sudah memutuskan semua! Segera kuceraikan dan mengembalikanmu pada Abah dan Umi," lanjutnya tanpa memikirkan perasaan Rani.
"Apakah Abang tidak akan berubah pikiran? Dan menyesalinya nanti?" tanya Rani memastikan keputusan lelakinya.
"Ini yang aku inginkan! Menikah dengan perempuan yang dicintai. Dipastikan, aku takkan berubah dan menyesali semua."
"Yakin?"
"Ya!"
"Baik! Saat ini juga, silahkan Abang talak Rani!"
Hendra tergagap! Permintaan Rani diluar praduganya. Ia tak menyangka, Rani akan secepat itu berubah pikiran dalam menanggapi perceraian mereka.
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Jangan takut! Meski hanya dua bulan menikah, hakmu atas harta gono gini akan aku berikan sepenuhnya. Termasuk rumah beserta isinya. Pun dengan kendaraan dan sejumlah uang akan aku transfer. Tentunya, uang sebanyak itu tidak akan membuat hidupmu melarat hingga berjumpa dengan lelaki yang bersedia menerima dan menikahimu yang berstatus janda."
Mendengar ucapan Hendra, mata Rani kembali mengembun. Berusaha menyembunyikan kepedihan, ia pun berpaling.
Hendra, bukan tidak tahu kepedihan seperti apa yang telah dialami oleh Rani. Namun, cintanya tidak bisa dipaksakan. Hidup bersama Aurel adalah impiannya. Jadi, tak ada salahnya mengorbankan perasaan Rani. Bukankah ia juga telah memberikan kompensasi yang banyak atas kegagalan pernikahan mereka?
"Maharani Putri binti Bapak Amir, saat ini juga kau bukan lagi istriku. Aku menalak dan menceraikanmu serta memutuskan ikatan pernikahan kita."
Meski Rani mencoba tegar. Namun, kata-kata nan bak petir itu telah mengguncang tubuhnya. Ia oleng! Berjalan tertatih Rani menyeret langkah. Seakan enggan tersentuh, ia pun menepis kasar tangan Hendra yang hendak membimbingnya.
"Bang!" Tepukan kuat dan keras di pundak menyentak Hendra dari lamunan. Ia yang terhanyut bayang-bayang masa lalu, terperanjat dan menyeret paksa kesadarannya.
"Bang!" Kembali terdengar teguran dari perempuan berpakaian minim nan duduk di sebelahnya.
"Hmm!" Berusaha menyembunyikan kegundahan hati, Hendra menunduk. Mengalihkan pandangan dari sosok yang menariknya ke peristiwa tujuh tahun silam.
"Rani!" Mendengar satu nama itu terucap dari bibir Aurel, sontak Hendra mengangkat wajah. Ia tak menyangka, perempuan yang sebentar lagi akan menjadi mantannya itu mengenali sosok si sholeha bergamis peach nan duduk tak jauh dari meja mereka.
"Ternyata, semua gara-gara perempuan itu!" Dengan beringas, Aurel menatap geram pada Rani yang tampak asik melayani dua gadis cilik nan duduk bersamanya.
"Lihat saja! Apa yang bisa aku lakukan pada perempuan murahan itu!" ancam Aurel seraya bangkit dan melangkah menuju meja mereka.
Hendra yang belum sepenuhnya pulih, tersentak melihat pergerakan Aurel. Gegas ia pun bangkit. Menyusul Aurel yang telah berdiri di hadapan Rani.
"Ternyata, perempuan sok suci ini masih berani menampakkan wajahnya." Bersedekap lengan, Aurel menetap sinis pada Rani yang hendak memberikan potongan daging pada salah satu gadis cilik nan berwajah sama.
Rani yang tidak menyadari kedatangan seseorang dari masa lalu terperanjat. Wajah putihnya pun semakin pias, saat menyadari sosok jangkung berdiri di belakang perempuan itu. Ditambah, panggilan kedua gadisnya pada lelaki yang berdiri terpaku.
"Abi ...."
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyesalan Tiada Akhir (Jandaku)
RomantizmMenyadari, lelaki yang gagal menikahi kekasihnya itu hanya menganggap ia sebagai pelarian dan pengantin pengganti. Dengan hati hancur, Rani menerima keputusan Hendra yang ingin menceraikannya. Namun, pertemuan tujuh tahun kemudian membawa dilema. R...