DANDELION (3)

94 11 0
                                    

HAPPY READING💖

Sementara preman-preman beserta remaja laki-laki itu pergi, Callista menghembuskan napas lega. Bibirnya sedikit melengkung ke atas, mengira-ngira dalam benaknya apa yang mereka pikirkan setelah melihat tingkah Callista tadi. Masa bodoh. Callista tidak pernah peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.

Berbalik, Callista masih menemukan lelaki itu. Dia yang tanpa rasa sakit menahan pisau tepat sebelum benda tajam itu menancap di perut kakaknya. Dia juga yang menyuruh preman-preman itu untuk pulang dan tidak lagi meladeni Callista. Hanya sekali, tapi mereka mampu menuruti perintahnya tanpa kata.

Siapa pria ini? Apa preman-preman itu anak buahnya? Sejak tadi mereka terlihat sangat akrab. Terutama ketika lelaki itu memberikan nasi bungkus kepada remaja calon aktor tadi. Callista mungkin tidak memperhatikan jika sedari awal, pria itu memang menggenggam sebuah kresek hitam.

Sesuatu menarik perhatian Callista. Ia memilih memendam semua pertanyaannya, lalu menghampiri pria di dekatnya itu. Liam sudah berdiri, mengamati adiknya yang mulai melepaskan dasi sekolahnya sebelum melilitkan pada tangan pria itu. Meskipun mendapat penolakan kasar, Callista tetap melanjutkan kegiatannya.

"Dari tadi lo gak ngerasain sakitnya?" Gumam Callista mengamati tangan yang berlumuran darah itu. Meskipun dasi sudah terlilit sempurna, ia masih belum melepaskan genggamannya. "Atau lo emang jago nahan rasa sakit?"

Mendongak, mata mereka bertemu. Udara terasa mencekat. Sementara Callista terpaku dalam keheningan. Mata tajam itu, terlihat sangat menawan. Menelan cahaya meskipun tidak ada pendar hangat didalamnya.

Pria itu tidak berkedip sama sekali. Mengamati lekuk wajah sekaligus ekspresi Callista. Mulut setengah terbuka, disusul bulu mata berkedip-kedip dengan tatapan polos tanpa di buat-buat, tampak sangat menggemaskan dari posisinya.

Entah mengapa, waktu terasa berjalan sangat lambat. Jemari kecil yang menggenggam tangannya, menjalarkan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan. Mengingat bagaimana mulut itu mengoceh sejak tadi, lalu terdiam seperti sekarang, Tristan nyaris menyunggingkan senyum. Terbuai dengan sesuatu yang tidak pernah muncul dalam benaknya.

Layaknya ada sebuah batu yang menghantam keras kepalanya, Tristan tersadar. Memutus pandangan mereka sekaligus genggaman menyenangkan itu. Dia berdehem kecil, berusaha mengontrol dirinya sendiri. Gila. Apa yang sedang dia lakukan di sini? Ini tidak benar. Memandang gadis itu sebentar lalu ke arah pria di dekatnya, Tristan melangkah pergi tanpa mengatakan apapun.

"TUNGGU!" Callista memekik cepat. Melihat punggung itu tidak berbalik sedikitpun meskipun sudah berhenti, ia mencebikkan bibirnya. "Nama lo siapa? Makasih ya udah nolongin kita!"

Lelaki itu berjalan lagi. Menjauh tanpa membalas ucapan Callista.

Callista menggeram. "YA UDAH KALO KITA KETEMU LAGI GUE BAKAL PANGGIL LO ABANG!"

"Abang?!" Liam berseru dalam hati. Mengernyit heran melihat sosok lain dalam diri Callista. Apa gadis ini sedang kerasukan?

Callista tersenyum melihat aksinya berhasil membuat lelaki itu berbalik memandangnya. Menaikkan alis tidak percaya.

"Preman-preman tadi panggil lo abang. Jadi nama lo abang kan? Makasih ya abang!"

Bagus. Selain berhasil membuat lelaki itu berbalik, kini Callista juga sukses membuatnya pergi dengan gelengan kepala seolah benar-benar yakin jika Callista adalah gadis tidak waras.

"Gila."

Callista menoleh mendengar ujaran Liam ketika pria itu berjalan memegangi perutnya menuju mobil. Siapa? Callista?  Gila? Callista gila?!

DANDELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang