DANDELION (5)

83 11 2
                                    

HAPPY READING💖

Callista memperhatikan bayangan dirinya di cermin. Siapapun juga tahu betapa cantik dan menawannya gadis ini. Layaknya reinkarnasi dari dewi aprodhite, Callita berdiri sangat anggun dengan gaun berwarna putih ditubuhnya. Rambutnya terurai bebas menghiasi makeup natural diwajahnya.

Helena, kepala pelayan di rumah itu memberi tanda pada kedua pelayan lain untuk keluar. Menyisakan dirinya bersama Callista. Berkali-kali Helena memuji gadis itu dalam hatinya. Tidak percaya jika Callista sudah sebesar dan tumbuh secantik ini. Dia bahkan masih mengingat bagaimana gadis itu melempar dot hingga mengenai hidungnya hanya karena susu yang ia minum sudah habis.

Helena menggeleng pelan. Terlalu banyak kenangan jika dia harus mengingatnya saat ini.

"Bi emangnya Callista harus turun ya?" Gumam gadis itu pada satu-satunya pelayan yang ia percaya di rumah ini.

Helena mengangguk. Memutar tubuh Callista dengan lembut. Memberi kekuatan dan keyakinan lewat matanya. "Nona harus turun. Tunjukkan pada mereka."

Membalas tatapan menenangkan itu sebentar, Callista mengangguk. Menghembuskan napas panjang sekali lagi, lalu melangkah keluar dengan Helena. Mereka menyusuri lorong, berbelok sembari berbincang-bincang sebelum akhirnya menuruni tangga.

Tepat di anak tangga terakhir, Helena melepaskan genggamannya. Melangkah pergi ke arah dapur sementara Callista berjalan menuju ruang makan. Di dalam sana, meja makan panjang sudah dihias sedemikian rupa dengan puluhan kursi mengelilinginya. Berbagai macam makanan sudah disediakan.

Callista baru saja akan duduk ketika suara berisik dibelakang sana membuatnya menoleh. Para petinggi-petinggi perusahaan. Callista memutar tubuh, tersenyum sopan pada mereka.

"Callista?" Salah satu pria dengan balutan jas hitam ditubuhnya tersenyum hangat. Callista mengenalinya sejak ia berumur delapan tahun. Pria paruh bayah ini terkenal dengan sifat ramah dan hangatnya. "Ternyata kamu sudah sedewasa ini yah. Cantik lagi."

Orang-orang disekitarnya ikut mengangguk. Memasang pujian yang sama tatkala Arumi dan Luna memutar bola mata malas.

Callista tersenyum sementara matanya terarah pada kedua wanita itu ketika dia berucap. "Makasih om. Kecantikan mama memang turun ke putrinya."

Suasana mendadak berbeda. Semua orang tahu apa yang sedang Callista bicarakan. Edward berdehem, memecahkan kecanggungan seraya mempersilahkan mereka untuk duduk sebelum menikmati makan malam.

"Ingat pesan papa. Jaga sikap kamu." Edward berbisik, melewati putrinya.

Tidak peduli. Callista beralih duduk. Sejenak menatap ke arah Liam, yang duduk di bagian terujung meja. Wajahnya datar, dingin seperti seharusnya. Callista tahu, lelaki itu benci acara ini. Benci harus berbasa-basi dengan orang-orang bertopeng seperti mereka.

Para pelayan mulai melakukan tugasnya. Callista mengalihkan pandangan. Mencari-cari dalam diam. Tristan. Lelaki itu berdiri diantara belasan penjaga tak jauh dari meja ini. Tepat didekat pintu masuk. Mata mereka bertemu. Sukses membuat tubuh Callista seperti tersengat sesuatu. Tidak-tidak. Ini tidak benar. Callista tidak mencarinya. Sungguh. Callista hanya mengedarkan pandangan, lalu tidak sengaja melihat ke arah lelaki itu.

"Kami senang kalian bisa menyisihkan waktu untuk makan malam bersama kami." Arumi mengeluarkan suara. Sekaligus mengeluarkan Callista dari pikirannya. Wanita itu tersenyum sopan, sama seperti para petinggi perusahan ini.

DANDELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang