Baru saja Rehan menyelesaikan administrasinya, dirinya dan Metha kembali berdebat. Pasalnya, Metha tidak mau menunggu di lobby rumah sakit sementara Rehan mengambil obat untuknya. Alasannya agar Metha tidak capek."Nurut sama suami."
Metha memutar matanya malas mendengar Rehan menyebut kata 'suami'. Gara-gara dokter genit itu, Metha terpaksa menyebut Rehan sebagai suami. Pada insiden tensi tinggi di kamar inap sebelumnya, si dokter genit tampak terperangah mendengar gerutuan Metha. Apalagi jelas sekali Rehan dan perawat yang ada di sana menahan tawa melihat tingkah si dokter. Setelah menjelaskan kondisi Metha yang sudah diperbolehkan pulang, dokter itu keluar kamar dengan setengah berlari. Bukannya puas, kejadian itu malah membuat Metha was-was.
Seperti sekarang ini, Metha ngotot ikut mengambil obat bersama Rehan. Di depan matanya saja, ada yang berani mencoba menggoda kekasihnya. Apalagi saat dia tidak ada.
"Ya udah sana pergi, biar aku pulang sendiri."
Rehan tersenyum sinis. "Memang bawa uang? Lupa? Dompet aja nggak bawa. Mau pulang naik apa? Bayar pakai apa?"
Metha tampak gelagapan. "Bayar waktu sampai di rumah kan bisa."
"Iya kalau sampai rumah? Kalau mogok di tengah jalan?"
"Jalan kaki," ucap Metha kesal. Didorongnya punggung Rehan menjauh. "Udah sana, nggak mau ngajak ya udah. Aku pulang sendiri."
Mendengar ancaman itu, Rehan bungkam. Terkadang Metha memang sangat menjengkelkan. Dihelanya napas kasar. "Ya udah, buruan."
"Gitu dong!"
"Untung aja cinta," gumam Rehan pelan.
"Apa, Bang?"
"Hah? Nggak."
Masih dengan wajah masam, Metha memeluk lengan kanan Rehan saat berjalan sementara lelaki itu menjinjing tas kecil berisi keperluan Metha di tangan kirinya. Langkah Metha terhenti ketika mereka akan berbelok.
"Kenapa? Capek?" tanya Rehan khawatir. "Makanya aku bilang tunggu di lobby aja."
"Bukan. Tadi aku kayak lihat si-alan di sana."
Rehan berdecak. "Udah jalan sama suami, masih aja ngelirik laki-laki lain."
Metha manyun. "Apaan sih! Beneran tadi aku lihat. Dia masuk ke ruangan poli kandungan." Mata Metha melebar tiba-tiba. "Jangan-jangan dia ke sini sama selingkuhannya."
"Ya bagus kan?"
"Kok bagus sih?" Metha menatap Rehan tidak mengerti. "Artinya aku diselingkuhin dong sama dia."
Wajah Rehan semakin terlihat kesal. "Kamu juga selingkuhin dia sama aku."
Seketika Metha memukul bahu Rehan. "Aku nggak selingkuhin dia."
"Terus apa?"
"Cuma main belakang."
Lagi-lagi Rehan berdecak. "Sama aja."
Metha tidak membalasnya, dia hanya mengikuti langkah Rehan menuju apotek rumah sakit. Pikirannya kembali pada Alan. Jelas dia penasaran, mengapa Alan masuk ke ruang dokter kandungan? Apakah dia sedang mengantarkan saudaranya? Setahunya dia tidak punya saudara perempuan. Apakah dia mengantarkan seorang perempuan?
Mata Metha melebar dan dia menepuk dahinya keras-keras. Membuat Rehan yang baru mendapatkan obat terhenyak.
"Kamu kenapa sih?"
"Duh, Bang kenapa tadi aku nggak ambil foto Alan waktu masuk ruangan dokter kandungan? Atau langsung aku samperin aja tadi. Biar Papa tahu calon mantunya kayak apa. Kita balik aja ke ruangan dokter tadi yuk."

KAMU SEDANG MEMBACA
fortunately love
RomansRepost dengan isi cerita baru Masih tentang Metha Rehan. *** Pertemuannya kembali dengan cinta monyetnya membuat Metha lupa jika dia baru saja bertunangan dengan si Alan. Perjodohan bodoh itu terpaksa dilakukannya untuk mendapatkan hati ibunya, hing...