eps 18

463 31 0
                                    


Sewaktu kecil Metha suka sekali duduk di pangkuan Hardi. Menceritakan banyak hal dan mendengarkan lebih banyak lagi tentang hal baru. Lebih tepatnya, Metha selalu menyukai apa yang Hardi ceritakan dan menyimpannya baik-baik di memorinya. Sampai sekarang Metha masih ingat betul tentang satu cerita fabel ciptaan Hardi. Itik Kesayangan Henny. Cerita itu sama persis dengan hidupnya.

Dulu Metha selalu meminta Hardi menceritakannya berulang-ulang. Meski tidak tahu mengapa Henny si ayam betina mencuri telur bebek tapi Metha tahu Henny sangat menyayangi telur itu dan tetap mengeraminya hingga menetas. Saat tahu seekor itik yang keluar dari cangkang telur, mata Henny berbinar dan kasih sayangnya bertambah. Si ayam betina itu sangat mencintai itik kecil walaupun bukan anaknya.

Ternyata Hardi mencoba mengenalkan Lisa pada sejak dirinya masih kecil. Hardi juga bercerita bahwa induk itik sangat sedih mengetahui Henny mencuri telurnya. Ingin sekali sang induk mengambil kembali itik kecil tapi tidak bisa. Itik kecil sudah mengenal Henny sebagai ibunya.

Sekarang Metha ingat, mata Hardi selalu berkaca-kaca saat menceritakan fabel itu. Metha yang masih kecil tentunya tidak tahu mengapa Hardi sedih saat bercerita. Yang Metha tahu hanyalah ayahnya pandai bercerita.

Ingatan itu membuat hati Metha teriris. Betapa tersiksanya Hardi dan Safira saat jauh darinya, Metha justru memikirkan Lisa. Perlahan kakinya mendekati tempat Hardi berbaring.

"Pa," gumam Metha lirih.

Safira membimbingnya duduk di kursi yang diduduki sebelumnya dan mengusap lengan Metha.

"Darah tinggi Papa kambuh."

Metha meraih tangan Hardi dan menempelkannya di pipi. "Pa, bangun. Anak nakalnya Papa udah datang."

Hardi suka sekali memanggil Metha dengan sebutan 'anak nakal' di waktu kecil. Bukannya protes, Metha malah kegirangan karena Hardi menyebut gelar itu sambil mengangkat tubuh Metha tinggi-tinggi. Sayangnya,  kedekatannya dengan Hardi berkurang sejak Metha mulai beranjak remaja. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.

"Bangun, Pa."

Mata Hardi membuka perlahan. Senyumnya mengembang menatap Metha. Senyum yang sudah lama tidak dilihat Metha.

"Maafkan Papa, Metha."

"Apa yang harus dimaafkan?"

Hardi menggenggam erat tangan Metha dan menatapnya lekat. "Maaf jika Papa banyak menuntut. Malam ini Papa akan menikahkanmu dengan Rehan."

"Kenapa harus buru-buru, Pa?"

"Supaya Papa bisa tenang."

Metha terhenyak kemudian cepat-cepat menggeleng. "Papa akan baik-baik saja."

"Papa akan lebih tenang jika ada yang menjagamu."

Metha baru sadar di dalam ruangan itu ada Bella, Alan beserta orang tuanya dan juga ayahnya Rehan. Seorang pria paruh baya yang tak dikenalnya duduk di sofa, penghulu yang akan membimbing akad nikahnya. Hardi dan Rehan saling berjabat tangan mengucapkan ijab dan kabul. Ikrar itu terucap begitu lancar tanpa pengulangan. Seakan-akan semua sudah terencana sebelumnya.

Memang sesuai harapannya, menjadi istri Rehan tapi Metha masih merasa janggal karena pernikahannya terkesan dipercepat. Safira memang sudah bercerita bahwa untuk mendapatkan perusahaan itu, dirinya harus menikah. Malam ini, semuanya terasa dipaksakan. Ada apa sebenarnya? Padahal keberadaan bundanya saja masih belum diketahui. Apakah bundanya kembali mengancam keluarganya?

Malam ini status Metha berhenti melajang. Resepsi pernikahan mereka akan direncanakan nanti setelah Hardi sehat. Akibat penyakit darah tingginya kambuh, Hardi tidak bisa menggerakkan kakinya. Untuk sementara menggunakan kursi roda sebagai bantuan. Dokter menyarankan untuk terapi dan benar-benar menjaga pola makan. Pikiran Hardi juga harus tenang karena stres maupun beban pikiran yang berat dapat memperlambat kesembuhan.

fortunately loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang