Kenalkan, namanya Daksa. Daksanala Anargya. Aku sebenarnya bingung jika diberi tanya Daksa itu orangnya seperti apa? Sebab sampai habis satu isi buku ini pun, aku tidak akan benar-benar selesai bercerita tentang siapa Daksa.
Daksanala Anargya. Dua potong kata yang menjadi jantung dari rentetan kata berikutnya. Sebuah nama penuh doa yang selalu diaminkan oleh semua telinga yang mendengarnya. Sebuah nama yang sejak kali pertama aku mendengarnya pun, aku sudah mempertanyakan, bagaimana bisa ada manusia dengan nama seindah itu?
Manusia yang pada akhirnya membuatku mempertanyakan banyak hal. Misalnya, bagaimana bisa aku menyayangi orang lain di saat menyayangi diri sendiri saja aku kesusahan? Atau pertanyaan lain seperti bagaimana bisa aku memaklumi banyaknya hal asing yang sangat aku hindari sebelumnya?
Rasanya, Daksa adalah satu-satunya anomali yang bisa aku terima.
Dia tenang untuk semua riuhku. Juga riuh untuk semua tenangku. Kami adalah dua jalan berseberangan yang entah bagaimana caranya bisa bertemu di ujungnya.
Dia nama yang setiap hari kumohonkan doa agar bahagia dan mulia selalu lingkupinya. Dia adalah kata yang dimiliki puisi-puisiku, buku-bukuku, juga kanvas lukisku.
Ah, Daksa.
Andai saja kamu tahu di tempat yang sunyi ini ada perempuan yang berbahagia dengan kebodohannya karena terlalu menyayangimu.
---------------
KAMU SEDANG MEMBACA
surat-surat yang pergi
Teen FictionKita adalah sebentang jalan yang berseberangan, Sebentang laut yang saling melawan, Sebentang langit yang saling memanggil hujan, Pun sebentang batas antara dua isi kepala yang terlalu sukar untuk dipadukan. Tapi, untukmu aku ada, dan untukku, kamu...