Daksa, aku tidak tahu kenapa saat menulis surat-surat ini aku banyak menangis.
Seiring kuputar nada-nada milik Gardika Gigih, kuputar juga satu dua kenang milikmu di sana. Lalu hujan turun begitu saja dari balik kelopak mataku, merintik, lalu membanjir ia sampai basah sapu tanganku.
Mungkin karena surat-surat ini adalah satu-satunya tempat di mana aku merasa utuh.
Tempat di mana tak ragu kuceritakan semua senang dan sedihku. Tempat di mana tak takut kubagi semua khawatirku.
Tempat di mana setidaknya dalam satu dua lembarnya, aku bisa memilikimu (sekalipun hanya dalam kata).
Mungkin juga karena surat-surat ini mengantongi banyak harap dan mimpi-mimpiku.
Tentang masa depan, juga tentang kamu yang kupinta akan selalu ada di setiap masaku. Tentang doa-doa yang kutabur ke langit, juga tentang pengharapan agar senang selalu lingkupimu.
Jadi, untuk saat ini saja, izinkan kujelmakan semua cinta dan cerita yang ada lewat surat-surat ini.
Surat yang barangkali akan aku tertawakan di masa depan nanti. Yang mungkin akan kupertanyakan kelak bagaimana bisa ada seorang perempuan yang menyayangi laki-laki sebegitu dalamnya lewat kata?
Aku utuh di sini, Daksa.
Aku lepas.
Seperti merpati yang berputar melingkari angkasa sana.
Aku lepas dan bebas di sini.
Tak kutakuti lagi akan seperti apa akhir dari kamu dan aku, toh manusia suka besar kepala menebak-nebak akhir sebuah cerita padahal tak punya kuasa apa-apa tuliskan takdirnya sendiri.
----------------
KAMU SEDANG MEMBACA
surat-surat yang pergi
Teen FictionKita adalah sebentang jalan yang berseberangan, Sebentang laut yang saling melawan, Sebentang langit yang saling memanggil hujan, Pun sebentang batas antara dua isi kepala yang terlalu sukar untuk dipadukan. Tapi, untukmu aku ada, dan untukku, kamu...