Daksa, sebenarnya aku bohong hari itu. Aku bohong ketika kamu lempar tanya tentang kita kala dua gelas es jeruk kita tinggal embunnya.
"Dengan atau tanpa aku, hidupmu akan baik-baik saja, Biru. Tetap jadi kamu yang sebenar-benarnya kamu."
Waktu itu, kujawab iya dengan senyum yang terpaksa, sebab aku pun tahu jawabanku bukan apa yang mau kamu dengar, Daksa.
Inginmu pasti aku hidup dengan baik ada atau tidaknya kamu di sampingku, aku pun juga mau demikian.
Tapi sialnya aku sudah terbiasa Daksa. Aku sudah terbiasa memiliki kamu di sisiku. Aku sudah terbiasa menjadikan kamu tempat bercerita untuk semua senang dan sedihku.
Aku sudah terbiasa baik-baik saja jika ada kamu di sini.
Kamu satu-satunya urai untuk semua kerumitan isi kepalaku. Kamu satu-satunya yang mengerti apa maksudku kala yang lain menebak-nebak apa inginku saja kesulitan.
Lantas bagaimana caranya aku akan tetap baik-baik saja ketika kita tak lagi saling sapa?
Karena ketika sudah tidak ada lagi kata antara aku dan kamu, hilang juga semua tenang untuk riuhku. Hilang juga semua rengkuh untuk rapuhku.
Turut hilang juga senyum yang benar-benar aku gemari untuk mengusir segenap pahit yang memelukku.
Sore ini kularung kapal kertas yang aku lipat dengan hati-hati. Di dalamnya kutulis beberapa potong doa, yang kuharap ia akan sampai pada sang pemilik segala.
Melipat jarak antara bumi dan langit.
Serta mulia, Daksanala Anargya.
---------------
KAMU SEDANG MEMBACA
surat-surat yang pergi
Teen FictionKita adalah sebentang jalan yang berseberangan, Sebentang laut yang saling melawan, Sebentang langit yang saling memanggil hujan, Pun sebentang batas antara dua isi kepala yang terlalu sukar untuk dipadukan. Tapi, untukmu aku ada, dan untukku, kamu...